kievskiy.org

Teks Ceramah Ramadhan 2022, Disabilitas dan Inklusivitas Perguruan Tinggi

Ilustrasi - perguruan tinggi.
Ilustrasi - perguruan tinggi. /Pixabay/mohammed_hasan

PIKIRAN RAKYAT - Disabilitas adalah bagian dari masyarakat yang berpotensi untuk menjadi bagian dalam kemajuan Indonesia yang perlu mendapat perhatian lebih. Jumlah penyandang disabilitas mencapai 15 persen dari jumlah penduduk di dunia dan menjadi salah satu kelompok minoritas terbesar (Unesco, 2011). Di Indonesia sendiri terdapat lebih dari 30 juta jiwa penyandang disabilitas (Data Susenas, 2018).

Penyandang disabilitas menjadi kelompok masyarakat rentan mendapat diskriminasi dan termarginalisasi. Para penyandang disabilitas mudah terisolir secara sosial dan sulit mengakses pemenuhan hak-hak dasar, salah satunya adalah pendidikan (UNICEF, 2019).

Dalam kaitan upaya pemerintah untuk menjamin hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia, telah ditetapkan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Aturan ini menjadi usaha perlindungan penyandang disabilitas dari tindak diskriminatif dan upaya pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas untuk mengembangkan diri dengan optimal khususnya dalam mendapatkan pendidikan.

Namun pada kenyataannya keterbatasan layanan pendidikan khusus yang dapat memfasilitasi penyandang disabilitas menjadi permasalahan yang tidak pernah terpecahkan. Jumlah Sekolah Luar Biasa (SLB) yang terbatas, melahirkan kebijakan pendidikan inklusi guna memenuhi hak pendidikan disabilitas (Kemen PPPA,2021).

Bila melihat angka partisipasi pendidikan penyandang disabilitas di Indonesia maka jumlahnya masih jauh dari ideal. Dari data Riskesdas tahun 2018, 3 dari 10 penyandang disabilitas tidak pernah mengenyam sekolah dan tidak terpenuhi hak pendidikannya. Padahal Pendidikan menjadi kunci dalam membantu meningkatkan harkat hidup seseorang disabilitas. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka jumlah penyandang disabilitas yang dapat bersekolah semakin minim.

Jumlah disabilitas yang mampu lulus diploma/perguruan tinggi sangat kecil dibanding jumlah keseluruhan data disabilitas. Ragam disabilitas yang berbeda-beda dapat menjadi dasar perbedaan data pendidikan ini. Berbagai jenis penyandang disabilitas meliputi fisik, intelektual, mental, atau sensorik, dapat menjadi halangan bagi kaum difabel melanjutkan Pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jenis disabilitas gangguan intelektual misalnya, dapat menjadi alasan tidak bersekolah karena keterbatasan kemampuan berpikir (kognisi). Akan tetapi hal ini tidak dapat menjadi justifikasi bahwa penyandang disabilitas tidak layak mendapatkan Pendidikan.

Sebagai ilustrasi, jumlah penyandang disabilitas terbesar yakni tunadaksa seharusnya tidak memiliki hambatan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Tunadaksa tidak mengalami gangguan kecerdasan melainkan mengalami keterbatasan gangguan gerak fisik seperti diakibatkan kecelakaan, virus, atau lumpuh polio. Namun jumlah penyandang disabilitas daksa yang menempuh kuliah dan tamat pendidikan tinggi masih sangat terbatas.

Jika melihat potensi seorang penyandang disabilitas daksa untuk memperoleh prestasi pendidikan tinggi, maka tokoh Stephen Hawking adalah salah satu contoh difabel yang berprestasi kuliah dan berhasil menjadi seorang ilmuwan modern yang populer dan berkontribusi pada keilmuan fisika kosmologi meski mengalami keterbatasan fisik.

Kebijakan pendidikan di Indonesia membuka peluang bagi penyandang disabilitas untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Hal ini dinaungi oleh Peraturan Kementrian Pendidikan Tinggi No. 46 tahun 2017 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di lingkungan Pendidikan Tinggi yang mendorong kultur pendidikan inklusif di kampus. Kebijakan ini memberi peluang bagi penyandang disabilitas untuk menempuh kuliah di perguruan tinggi.

Namun potensi penyandang disabilitas untuk kuliah seringkali terganjal oleh berbagai faktor, salah satunya adalah fasilitas dan kebijakan kampus yang tidak ramah pada disabilitas.

Dari sisi input, calon mahasiswa disabilitas masih sangat sulit mencari beasiswa khusus disabilitas. Upaya pengembangan beasiswa afirmasi difabel masih sangat langka bahkan nihil. Kondisi kebijakan penerimaan mahasiswa baru di berbagai perguruan tinggi masih diskriminatif dengan menyertakan persyaratan sehat jasmani dan rohani, bahkan ditemukan tertulis langsung tidak menerima mahasiswa yang mengalami disabilitas.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat