kievskiy.org

Kartelisasi Partai Politik: Erosi Demokrasi dan Identitas Partai yang Terkikis

Ilustrasi politik.
Ilustrasi politik. /Pixabay/Wokandapix

PIKIRAN RAKYAT - Manuver politik yang dilakukan oleh para elite politik beberapa waktu lalu mengguncang akal pikiran publik. Betapa tidak kegaduhan dipertontonkan pelbagai manuver yang mencederai nurani publik. Secara kasat mata pencalonan Gibran menjadi wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto menandai lonceng hilangnya identitas ideologi partai politik yang oportunis.

Partai politik bersikap acuh dengan tidak mementingkan aspek merit system dalam internal parpol, sehingga mereka memutus jalan bagi kader-kader terbaiknya untuk berkontestasi. Sikap partai koalisi pendukung Prabowo dan Gibran menunjukan bahwa ada akomodasi kepentingan para elite.

Memang sudah tidak diragukan lagi sebagai titik balik dari reformasi demokrasi, melahirkan entitas partai modern dengan pelbagai corak ideologinya. Akan tetapi, pada saat ini menjamurnya partai politik tidak terlepas dari ideologi dan pragmatisme. Meminjam istilah Andreas Ufen partai-partai di Indonesia cenderung berkembang menjadi apa yang disebutnya sebagai partai-partai kartel, yaitu sebuah partai yang melekat pada negara, teralienasi dari masyarakat dan didominasi oleh para pejabat publik (Wasi, 2021).

Sebagai representasi yang memperjuangkan basis kepentingan masyarakat secara umum, partai politik condong terhadap kepentingan yang sempit dalam hal ini lebih berusaha menyenangkan kepentingan individu maupun kelompok. Kesan menunaikan kepentingan publik tidak berdampak riil, hanya sebagai perpanjangan kepentingan para kartel.

Kecenderungan partai yang bergerak pada basis kartelisasi justru akan menjauhkan mereka dari kepentingan umum. Apalagi jika terciptanya koalisi berbasis saling menyandera atau berbagi jatah kue masing-masing. Hasil riset yang ditunjukan oleh Slater (2004) bahwa partai politik telah kehilangan fungsinya dalam menjalankan controlling dan menjadi check and balance yang menjadi marwah demokrasi. Partai di Indonesia terperangkap pada kartelisasi yang menghilangkan eksistensi sebagai watchdog. Oleh karena itu, praktik pengusungan Gibran menjadi pasangan wakil Presiden Prabowo menunjukan partai bergerak pada praktik kartelisasi. Selain itu, tindakan yang kurang etis dari elite politik memunculkan ketidaketisan serta kegagalan partai mempertahankan basis ideologi, sehingga mereka terjebak dalam transaksi pasar gelap.

Konsekuensi

Partai politik yang semestinya menjadi representasi kepentingan bagi konstituennya justru berbalik memunggungi kepentingan publik. Pencalonan Gibran sebagai wakil Presiden menjadi olok-olok publik karena hadir melalui proses yang tidak etis.

Celakanya, partai politik yang semestinya bersikap waras dengan mengawal demokrasi pada satu tempat yang ideal justru diolok-olok oleh kepentingan para elite politik yang tidak mencerminkan etika politik yang baik. Narasi kosong yang dibangun oleh partai koalisi pendukung Prabowo atas dasar Gibran representasi pemimpin muda yang layak pun terlihat masif dibicarakan di ruang publik.

Seolah tindakan tidak etis ini sebagai hal yang normatif, partai koalisi pun ikut larut dalam kepentingan individu. Nihilnya suara-suara bising yang mempersoalkan langkah pengusungan Gibran sangat jelas memperlihatkan sikap oportunis partai koalisi pengusungnya.

Selepas reformasi konsolidasi oligarki menjamur ke partai politik, mereka yang memiliki kekuatan ekonomi yang super power dapat memanipulasi kepentingan publik. Oleh karena itu, konsekuensi dari partai yang terkarterlisasi menjauhkan kepentingan masyarakat, sehingga orientasi parpol dipenuhi dengan kepentingan yang berbasis pada golongan tertentu.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat