PIKIRAN RAKYAT - Apabila Dananjaya (1986) membedakan perilaku atas pilihan dorongannya, maka bisa jadi dorongan kebutuhan lebih menonjol ketimbang dorongan nilai. Bahkan, nilai sering diperalat untuk mengesahkan tindakan yang bertumpu pada kebutuhan. Tidak heran jika rusaknya nilai dalam kehidupan diakibatkan oleh menggunungnya kebutuhan yang mengorbankan nilai.
Musibah alam, musibah akademik, dan musibah sosial, bisa berkaitan dengan kebutuhan. Terjadinya sejumlah bencana seperti banjir, longsor, dan perubahan iklim, dipicu oleh kebutuhan manusia yang terus meningkat dan tidak berkesudahan.
Demikian halnya plagiasi, eksploitasi ke anak asuhnya pun menjadi ciri ada kebutuhan yang ingin dikejarnya. Merenggangnya hubungan antar-manusia serta menurunnya simpati dan empati pun berkaitan dengan hal seperti itu.
Dioprek
Banyak nilai yang berbentuk aturan dioprek agar bisa mengakomodasi kebutuhan tanpa dicermati filosofinya. Pengerukan sumber daya alam pun demikian. Namun, kesadaran khalayak seringkali terlambat datang. Kasus korupsi timah yang merugikan negara Rp271 triliun bisa jadi merupakan gunung es dari sekian banyak kekeliruan perlakuan terhadap alam.
Bisa saja dalam banyak aspek pun demikian halnya. Kerugian negara akibat menumpuknya kebutuhan di sejumlah level aparatnya bisa terus berkembang. Hanya saja, ketahuannya justru sering terlambat dan publik reuwas kareureuhnakeun.
Apabila hal demikian tidak dipelototi oleh seluruh elemen bangsa dengan sanksi yang rendah ketika ketahuan, maka praktik tuturut munding pun bisa tumbuh pesat seperti yang dituliskan Borsteins (1996).
Mungkin saja sejumlah penegak nilai merasa jengah karena suaranya diabaika, bisa jadi karena populasinya tidak banyak serta kekuatannya tidak perkasa. Sementara pemburu kebutuhan semakin membesar jumlahnya sehingga perseteruan kedua bobotoh tersebut menjadi tidak seimbang.
Tidak heran jika kemudian penegak nilai menjadi gimir berhadapan dengan ”rivalnya” yang, selain banyak, juga memiliki kekuasaan untuk menekan banyak pihak yang strategis.