kievskiy.org

Bahaya Pragmatisme Pemilih

Ilustrasi pemilu 2024.
Ilustrasi pemilu 2024. /Antara/Andreas Fitri Atmoko

PIKIRAN RAKYAT - Pemilihan Wali Kota Bandung pada 2024 akan didominasi oleh pemilih muda, yang terdiri dari generasi Y (26-42 tahun) dan generasi Z (17-26 tahun). Mereka mencakup sekira 60 persen total pemilih, yang menegaskan pentingnya kontribusi politik dari kelompok demografis ini.

Riset terbaru dari Indonesian Political Research & Consultant (IPRC) tentang peta dukungan pemilih generasi Y dan Z di Kota Bandung menunjukkan bahwa kedua generasi tersebut cenderung pragmatis. Karakter pragmatis ini tercermin dalam tingkat penerimaan politik uang dan independensi dalam memilih.

Hasil survei IPRC mengungkapkan sebesar 48,8 persen responden berpendapat bahwa menerima uang, barang, atau sembako sebagai imbalan atas pilihan mereka pada calon tertentu adalah sesuatu yang bisa diterima.

Rincian lebih lanjut menampakkan 15,3 persen dari mereka menganggap hal itu sepenuhnya wajar, sedangkan 33,5 persen lainnya merasa itu cukup wajar. Namun menariknya, dari kelompok yang menganggap penerimaan tersebut wajar dan cukup wajar, sebanyak 81,9 persen di antaranya menyatakan bahwa mereka belum tentu akan memilih calon yang memberikan imbalan tersebut.

Baca Juga: Terabaikannya Hak Pejalan Kaki: Mencari Solusi Mobilitas Kota yang Lebih Inklusif

Angka 48,8 persen yang mewajarkan politik uang bukanlah jumlah yang kecil. Terlebih, fenomena ini terjadi di generasi muda di kawasan urban yang semestinya bersikap cerdas dalam menjalani proses pemilihan. Lantas, apa yang mendorong perilaku pragmatis ini?

Terdapat beberapa faktor yang bisa menyebabkan kecenderungan sikap pragmatisme pada pemilih muda. Pertama, faktor ekonomi di mana situasi finansial mereka saat ini cenderung tidak stabil.

Berdasarkan survei, 35 persen responden milenial merasa kondisi keuangan mereka kurang sehat. Pandemi telah membuat pendapatan usahanya menurun dan banyak yang terkena PHK. Kebutuhan untuk belanja rutin pulsa dan kuota internet pun makin meningkat.

Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa generasi Z dan Y cenderung lemah dalam pengelolaan keuangan. Mereka terhubung dengan berbagai aplikasi keuangan yang memudahkan transaksi tetapi tidak diimbangi literasi keuangan yang baik. Belum lagi fenomena You Only Live Once (YOLO) dan Fear of Missing Out (FOMO) turut melambungkan pengeluaran mereka.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat