kievskiy.org

Negara Maju dan Terkebelakang, Pengertian Usang yang Dipropagandakan Kaum Teoritisi

Ilustrasi kondisi negara terbelakang.
Ilustrasi kondisi negara terbelakang. /Pexels/Ayan Bose

PIKIRAN RAKYAT - Dalam sebuah WhatsApp grup berisi orang Indonesia, saya sering mendapati segelintir orang awam bahkan para akademisi yang menggunakan istilah negara maju untuk mendefinisikan perbandingan ketimpangan pembangunan yang terjadi antara Indonesia dengan negara-negara lain. Istilah negara maju rupanya mengeneralisir negara-negara belahan dunia lain, sebagai contoh yang baik dan perlu dicontoh capaiannya. Alih-alih menyetujui pernyataan “negara maju”, saya selalu merasa keberatan dan tidak setuju saat ada yang menggunakannya, karena secara tidak langsung mendudukan Indonesia sebagai negara yang terkebelakang dan inferior.

Istilah-istilah negara maju dan negara terkebelakang tidak lagi dipakai dalam dunia akademisi Eropa, karena maknanya mengandung “kekerasan bahasa”, akademisi Eropa serta merta menghindarinya. Bagi saya pribadi, istilah negara maju dan terkebelakang dalam soal pembangunan dan teknologi adalah propaganda para kelompok elit modernis dan imperialis, terminologi yang sudah ketinggalan zaman dan tidak berakar pada realita sekarang.

Tulisan ini mencoba merangkum dasar pemikiran yang melandasi istilah-istilah negara maju dan terkebelakang. Secara historis, istilah baru hadir awal abad 20 lalu, pada periode akhir kolonialisme global. Pada masa itu, kemajuan teknologi hanya dimiliki bangsa barat dan diklaim secara eksklusif oleh mereka. Pembangunan dan teknologi gunanya membedakan antara penjajah dan kaum terjajah. Kepemilikan teknologi oleh bangsa barat digunakan sebagai alat untuk menguatkan posisi mereka sebagai superior dan kita yang inferior. Argumentasi ini didukung oleh pernyataan Peter L. Berger dalam bukunya "Piramida Kurban Manusia" terbitan tahun 1974.

Peter L. Berger adalah seorang sosiolog kenamaan Amerika yang mengkritisi pembangunan dan paradigma pembangunan, Berger menjelaskan dalam bab awal bahwa ada dua sisi pembangunan yaitu sisi pembangun atau pemegang kekuasaan dan sisi teoritisi atau si pengkritik. Dikutip dari Berger “Sisi pemegang kekuasaan (men of action) selalu berbicara “common sense” yang tergabung atas falsafah lama untuk menguatkan argumentasi bahwa pembangunan adalah kearifan lokal yang bersifat sementara (ad hoc) yang diciptakan menurut pola DIY (do-it-yourself)”, di sisi lain ada sang teoritisi yang menurut Berger “mengkritisi pembangunan dari menara-menara gading sebagai cara untuk mengerjakan bangunan-bangunan intelektual mereka, dalam keterpencilan yang megah dari kerja memeras keringat yang dilakukan oleh umat manusia lainnya”.

Berger begitu jelas mendefinisikan kedua sisi yang bertolak belakang tersebut, sebagai guru besar sosiologi di Graduate School of Rutgers University dan Douglas College, kritiknya begitu mengena bagi kedua belah pihak. Berger selalu menjadi rujukan untuk ilmu sosiologi pembangunan.

Dalam sudut pandang Berger, istilah negara maju dan terkebelakang adalah propaganda yang disulut kaum teoritisi bagi masyarakat banyak, untuk membedakan antara pemegang kekuasaan dan dirinya yang seakan bersama masyarakat, propaganda ini digaungkan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin pada abad lalu sebagai olok-olok bagi pemegang kekuasaan. Olok-olok ini diperuntukkan bagi negara-negara kolonialis dan imperialis dari negara-negara jajahan mereka. Tapi sudut pandang itu berubah saat terjadinya konferensi negara-negara non blok di Bandung.

KAA Bandung Penggerak Kesadaran Bersama

Dalam rentang sejarah, dunia mencatat sebuah Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955, yang mengubah sudut padang dunia barat dan timur. Hasil dari konferensi non blok itu salah satunya menggantikan istilah negara terkebelakang dengan istilah belum berkembang dan atau sedang berkembang. Hal ini dasar penguatan posisi tawar bagi negara-negara di luar negara kolonialis dan imperialis dalam konteks pembangunan dan teknologi. Bahwasannya pembangunan dan teknologi bukan hasil pemberian negara maju ke negara terkebelakang, akan tetapi menguatkan paradigma pembangunan dan teknologi merupakan hak dan kewajiban bagi seluruh negara di muka bumi.

Makna istilah negara maju dan berkembang pada abad 21 ini sudah melampaui dari teminologi yang dicetuskan saat KAA 1955, kemajuan teknologi digital yang merata di seluruh muka bumi, menghadirkan kesempatan bagi seluruh negara untuk berdiri sama rata. Kemajuan dunia digital sebagai aspek pendukung pembangunan dan teknologi dirasakan bersama oleh umat manusia, masa digital, dan keterbukaan informasi merupakan kesempatan bagi semuanya, untuk melakukan inovasi pembangunan dan teknologi.

Perihal kemajuan teknologi, Indonesia sudah memiliki beragam teknologi yang mampu dibandingkan dengan negara-negara lain, terlebih pada teknologi digital, kemajuan masyarakat Indonesia jauh melampaui dari negara Prancis tempat saya tinggal saat ini. Di sini, masih banyak orang Prancis yang tidak paham bahkan menolak menggunakan aplikasi seperti WhatsApp, Instagram, dan media sosial lain. Sedang di Indonesia, penggunaan aplikasi-aplikasi tersebut adalah sebuah kewajaran dan pengetahuan umum. Bisa dipastikan sekali lagi, masyarakat Indonesia lebih maju soal adaptasi terhadap teknologi digital. Dalam konteks ini saja, terbukti Indonesia adalah negara yang lebih maju dan Prancis adalah negara terkebelakang perihal adaptasi teknologi digital.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat