kievskiy.org

Catherine Ajak Semua Pihak tidak Simpan Dendam

JAKARTA, (PR).- Putri sulung pahlawan revolusi DI Panjaitan, Catherine Panjaitan mengajak semua pihak untuk saling memaafkan dan tidak lagi menyimpan dendam atas tragedi 1965. Dia yang sempat kaget karena melihat penembakan ayahnya 30 September 51 tahun silam itu pun mengaku kini sudah berdamai dengan masa lalunya dan memafkaan orang yang telah merenggut nyawa ayahnya saat peristiwa G30S. "Saya sudah berdamai siapapun yang membunuh ayah saya, namanya manusia pasti ada kelemahan, saya belajar untuk damai. Marilah bermaafan, kita tidak mungkin mewariskan dendam kepada anak cucu kita," kata Catherine dalam Simposium Nasional Tragedi 1965 di Jakarta, Senin 19 April 2016. Catherine yang saat kejadian itu berusia 17 tahun masih ingat saat ayahnya dijemput paksa oleh segerombolan orang berseragam hijau. Takut terjadi apa-apa, Catherine dan adiknya mengintip ayahnya dari lantai dua rumah mereka. Gerombolan orang berseragam hijau dengan sejumlah senjata lengkap itu menyuruh ayahnya untuk hormat. Seolah mencium aroma yang tidak beres, DI Panjaitan menolak dan malah merapatkan tangannya dalam posisi berdoa. "Mungkin mereka marah dan langsung menembak ayah saya. Saya sudah tidak peduli lagi, saya langsung turun ke bawah diikuti adik-adik saya untuk menemui ayah saya. Tetapi ayah sudah tidak ada, saya hanya melihat darah yang seperti bekas seretan," ucapnya. Setelah kejadian tersebut, Catherine mengaku sempat kehilangan semangat hidup. Ia depresi dan berpindah-pindah tempat tinggal untuk mencari ketenangan. "Saya rasanya ingin bunuh diri dan saat itu saya benci dengan negara ini," ucapnya. Berpuluh tahun setelah itu, dia diundang ke acara di salah satu stasiun televisi swasta dan dipertemukan dengan korban-korban G30S yang diduga PKI. Di situ Catherine sadar ada orang yang hidupnya lebih menyakitkan. "Setidaknya saya tidak perlu sembunyi-sembunyi seperti mereka. Selesai itu saya langsung peluk mereka satu persatu, dan meminta maaf," ucapnya. Senada dengan Catherine, Svetlana Njoto, putri wakil II CC PKI Njoto pun mengajak semua pihak untuk kembali bersatu. Selain itu diskriminasi yang selama ini dirasakan korban pun hendaknya diselesaikan. Soalnya, meski sudah puluhan tahun berlalu, para eks tapol masih hidup dalam ketakutan dan kecurigaan. "Kalau ada pertemuan dengan teman-teman sesama korban 1965, masih banyak pihak yang mengira kita mau menghidupkan kembali komunis," kata Svet. Saat tragedi 1965 terjadi Svetlana masih berusia sembilan tahun. Dia kehilangan ayahnya dan ibunya ditahan. Svet pun akhirnya tinggal berpindah-pindah dari satu kerabat ke kerabat lainnya. "Namun, yang paling berat saya harus hidup dengan menyembunyikan identitas saya berpuluh-puluh tahun. Nama saya sangat Rusia, ibu saya menyuruh saya untuk membuang nama saya karena dia takut terjadi sesuatu kepada saya, dan hal itu berat bagi saya," ucapnya. Namun, pengalaman pahit itu sedikit demi sedikit ia lawan. Kini ia bisa mulai bisa terbuka. Bahkan Svet telah menganggap putri DI Panjaitan, Catherine yang ia temui di Forum Silaturahmi Anak Bangsa beberapa tahun silam sebagai kakaknya. "Catherine sangat memerhatikan saya, dia mengurus saya seperti adiknya sendiri, orang lain yang melihat persahabatan saya dengan Catherine pasti heran," ucapnya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat