kievskiy.org

Kinerja Sebagian Lembaga Penegak Kode Etik Belum Efektif

JAKARTA, (PR).- Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sudah cukup berdiri lembaga-lembaga penegak kode etik dalam jabatan publik. Akan tetapi, sebagian di antaranya belum pernah menjalankan tugasnya dengan efektif dalam rangka menegakkan kode etik. Penyebabnya adalah lembaga tersebut tidak memiliki kedudukan yang independen sehingga kinerjanya tidak efektif. Hal tersebut disampaikan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu Jimly Asshidiqie dalam sambutan ulang tahun DKPP ke 4 di Gedung Bawaslu dan DKPP, Senin, 13 Juni 2016. Dalam acara peringatan HUT DKPP tersebut, diselenggarakan juga peluncuran buku Evaluasi Pilkada di 269 daerah yang ditulis oleh DKPP. Jimly mengatakan, sebagai solusi menegakkan lembaga penegak kode etik, perlu ada upaya secara sistematis untuk menerapkan prinsip-prinsip peradilan yang lazim di dunia modern. "Praktik peradilan kode etik ke depan hendaklah menyesuaikan dengan dinamika dan tuntutan perkembangan zaman. Tidak lagi berpegang pada cara pandang yang mekanis dan formalistik," ujarnya. Dia memaparkan, lembaga penegak kode etik yang menyelenggarakan peradilan etik tidak serta merta hadir begitu saja. Namun berkembang melalui tahapan tertentu. Lembaga peradilan etik seperti yang dirintis DKPP, sebelumnya tidak begitu dikenal. Lembaga peradilan etik DKPP yang hadir saat ini sudah tergolong terbuka. Sebelumnya, mayoritas penegakan etik cenderung tertutup. Dalam sistem yang tertutup, lembaga penegak kode etik itu ada yang masih bersifat adhoc dan bekerja secara internal di lingkungan organisasi yang bersangkutan maupun yang bersifat permanen. Sebagian disebut sebagai committe atau komite yang berarti panitia. Lembaga yang bersifat adhoc, seperti Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Agung, Majelis Kehormatan Komisi Pemberantasan Korupsi, atau ada yang bersifat permanen, seperti Mahkamah Kehormatan Kedokteran Indonesia. Dia menambahkan, perkembangan peradilan kode etik berkembang karena persoalan etika itu berkaitan erat dengan pemangku jabatan publik dan profesionalyang mengandalkan kepercayaan publik. Lantaran pendekatan hukum dalam menuntaskan persoalan etika dianggap kontra-produktif dalam menjaga kepercayaan publik. Pasalnya, sebelum suatu tuduhan pelanggaran hukum dapat dibuktikan secara tuntas di pengadilan, citra institusi publik tempat yang bersangkutan bekerja sudah hancur dulu di mata publik. "Oleh sebab itu, pembinaan dan pengendalian perilaku ideal terhadap orang-orang yang duduk dalam jabatan publik, dipandang lebih baik dilakukan melalui sistem etika atau setidak-tidaknya melalui sistem etika terlebih dahulu. Baru dengan menggunakan sistem hukum," katanya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat