kievskiy.org

Kesenjangan Pembangunan, Penduduk Miskin Menumpuk di Indonesia Timur

Ketua Badan Pengkajian (Lemkaji) MPR RI, Rully Chairul Azwar.
Ketua Badan Pengkajian (Lemkaji) MPR RI, Rully Chairul Azwar.

JAKARTA, (PR).- Ketua Badan Pengkajian (Lemkaji) MPR RI, Rully Chairul Azwar mengatakan, pembangunan yang dilaksanakan  masih mengalami kesenjangan. Setidaknya, hingga kini masih terdapat 10 daerah yang menjadi pusat-pusat kemiskinan.

Padahal, sejumlah program pembangunan telah digelontorkan pemerintah pusat bagi daerah-daerah tersebut. “Berdasarkan data Biro Pusat Statistik yang dilansir 2017, per September 2016 terdapat 10 daerah yang menjadi kantong penduduk miskin, mayoritas berada di Indonesia Timur,” lanjut Rully, dalam jumpa pers, Selasa 3 Oktober 2017.

Rully memaparkan hal itu didampingi Sekjen MPR RI Ma’ruf Cahyono, anggota tim Lemkaji Ahmad Farhan Hamid, Zein Badjeber, I Wayan Sudirta, M Jafar Hafsyah, Syamsul Bahri, dan Isaac Latuconsina.

Dari ke 10 daerah tersebut, sambung Rully, Provinsi Papua menempati urutan paling atas untuk urusan penduduk miskin. Padahal, triliunan uang telah dialokasikan pemerintah pusat agar penduduk Papua meningkat kesejahteraanya dan lepas dari predikat penduduk miskin.

“Provinsi yang paling banyak penduduk miskinnya adalah Papua, yaitu 28,4%. Diikuti Papua Barat sebanyak 24,8%, Nusa Tenggara Timur sebesar 22,01% dan Maluku sebesar 19,26%,” sambung Rully.

Kesenjangan bukan karena kekurangan dana. Pada APBN-P 2015 jumlah dana trasfer daerah mencapai Rp 664,6 triliun. Lalu pada APBN-P 2016 Rp 776,3 triliun. Jumlah alokasi transfer ke daerah itu lebih besar dibandingkan belanja kementerian/lembaga yang berjumlah Rp 767,8 triliun.

Bahkan sejak 2015 dana desa dialirkan secara block grant. Dana desa tahun 2015 Rp 20,77 triliun, pada 2016 Rp 46,9 triliun, tahun 2017 Rp 60 triliun, dan tahun 2018 Rp 120 triliun.

Hanya saja kata Rully, dana itu belum efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata di daerah. Sementara itu posisi tawar daerah dalam memperjuangkan kepentingannya di tingkat nasional tidak efektif.

“Belum efektifnya posisi tawar itu salah-satunya disebabkan terjadinya kekosongan peran DPD RI dalam melaksanakan kewajiban konstitusionalnya, yaitu pelaksanaan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan untuk memperjuangkan kepentingan daerah,” ujar politisi Golkar itu.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat