PIKIRAN RAKYAT - Presiden Joko Widodo mengusulkan Jenderal Andika Perkasa sebagai calon Panglima TNI.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, langkah itu mengandung sejumlah permasalahan serius.
Hal pertama permasalahan serius tersebut, yakni presiden dinilai mengesampingkan pola rotasi matra, yang berlaku di era Reformasi dalam regenerasi Panglima TNI.
Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam norma yang berlaku pada Pasal 13 ayat (4) dalam Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004. Usulan nama KSAD Andika Perkasa sebagai Panglima TNI yang baru, dinilai merupakan pilihan yang keliru karena mengabaikan pola kebijakan berbasis pendekatan rotasi.
Jika merujuk pada Pasal 13 ayat (4) UU TNI, jabatan Panglima TNI dijabat secara bergantian, oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.
Penerapan pola rotasi akan menumbuhkan rasa kesetaraan antarmatra, kesimbangan orientasi pembangunan postur TNI, serta kesempatan yang sama bagi perwira tinggi TNI, tanpa membedakan asal matra.
Hal tersebut juga dapat membawa dampak positif berupa penguatan soliditas internal TNI. Selain itu, pola rotasi penting dilakukan guna meredam kecemburuan yang sangat mungkin terjadi di antara prajurit akibat adanya kesan bahwa presiden menganakemaskan satu matra dalam tubuh TNI, seperti di masa Orde Baru.
Pola rotasi jabatan Panglima TNI yang telah dimulai sejak awal Reformasi itu tentu perlu untuk dipertahankan, apalagi hal tersebut juga telah diamanatkan dalam UU TNI.