kievskiy.org

Anak Penyandang Autis Memiliki Hak untuk Menjalani Sekolah Inklusi

KETUA Yayasan Fajar Nugraha, Muchamad Agus Hanafi pada sarasehan dan Ulang Tahun ke-22 Sekolah Khusus Autistik Fajar Nugraha (SKAFN) Yogyakarta, Sabtu, 13 April 2019. Kegiatan sarasehan ini membahas tentang integrasi sekolah anak autis ke sekolah inklusi atau sekolah umum.*/MUKHIJAB/PR
KETUA Yayasan Fajar Nugraha, Muchamad Agus Hanafi pada sarasehan dan Ulang Tahun ke-22 Sekolah Khusus Autistik Fajar Nugraha (SKAFN) Yogyakarta, Sabtu, 13 April 2019. Kegiatan sarasehan ini membahas tentang integrasi sekolah anak autis ke sekolah inklusi atau sekolah umum.*/MUKHIJAB/PR

YOGYAKARTA, (PR).- Anak-anak penyandang autis atau gangguan perkembangan menyeluruh (pervasive disorder) memiliki hak untuk sekolah umum (inklusi) setelah ditangani sejak dini oleh sekolah eksklusif anak autis. Hak anak autis ini perlu diperjuangan agar mereka tidak terpinggirkan oleh stigma penyakitnya maupun hak mendapat perlakukan setara dalam lingkungan masyarakat, termasuk lingkungan sekolah umum agar hak mereka tidak terpinggirkan.

Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pendidikan Sekolah Khusus Autistik Fajar Nugraha (SKAFN) selama 22 tahun, anak autis bisa berkembang layaknya anak normal ketika mereka dilayani dan dibimbing sejak dini dan  profesional. “Dari pengalaman pendidikan anak autis, perkembangan mereka yang sukses ditangani secara profesional, mengarah pada anak normal. Maka dari perkembangan itu, semua anak autis memiliki hak untuk diintegrasikan ke sekolah reguler. Ini bagian dari pelaksanaan amanat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70/2009 tentang Pendidikan Inklusi. Aturan di dalamnya, mengintegrasikan anak autis dari sekolah khusus ke sekolah umum merupakan  gerbang memandirikan mereka,” ujar Ketua Yayasan Fajar Nugraha, Muchamad Agus Hanafi pada sarasehan dan Ulang Tahun ke-22 Sekolah Khusus Autistik Fajar Nugraha (SKAFN) Yogyakarta, Sabtu, 13 April 2019.

Program integrasi anak autis dari sekolah khusus ke sekolah umum memiliki preseden di Yogyakarta, Sejumlah alumni SKAFN diterima di sejumlah sekolah umum. Ini menjadi bukti, hak anak autis diperlakukan “sama” dengan anak lain memiliki alasan mendasar.

Menurut dia, pengalaman SKAFN melayani anak autis usia dini, 2-5 tahun, tingkat keberhasilannya menjadi anak yang tumbuh kembang normal sangat tinggi. Penanganan dini tersebut sangat memungkinkan mengarahkan pertumbuhan anak secara positif karena anatomi otak masih berkembang secara optimal.

Keberhasilan sekolah melayani anak autis tersebut tidak bisa lepas dari peran orangtuan anak. Isti Proboningrum, orangtua alumni yang anaknya bisa sekolah inklusi atau sekolah umum setelah dididik di SKAFN, mengaku anak autis membutuhkan kehadiran orangtua yang aktif. Tidak hanya mendampingi, orangtua bersama sekolah ikut aktif menyusun program dan pelaksanaan program atau belajar yang direncanakan dalam program. Kemudian orangtua harus aktif komunikasi dengan anak maupun guru sekolahnya.  

“Pengalaman saya aktif menghadapi anak saya yang autis. Saya bersama guru-gurunya ikhlas selalu mendampingi dan membimbing anak saya. Tiada kata menyerah, hasulnya sangat mengejutkan. Alhamdulillah anak saya bisa umbuh dan berkembang seperti anak-anak pada umumnya. Anak saya menjalai sekolah dasar (SD) di sekolah umum dan dia bisa menjalani seperti murid lainnya,” ujar dia.

Guru SKAFN Yan Eka Ardiyanti menyatakan, anak autis yang telah melalui pendidikan dasar dan berkembang dengan baik memiliki hak untuk pindah sekolah umum. Problemnya, sekolah tertentu mensyaratkan calon siswa dari anak autis yang telah lulus pendidikan dasar dan tumbuh layaknya anak moral harus lulus tes potensi akademik atau tes IQ layaknya anak normal. Proses ini memberatkan anak-anak autis. Kemudian pihak sekolah perlu memberikan pelayanan tertentu sesuai standar melayani anak autis, di antaranya guru yang memiliki kecakapan menanani anak autis atau guru pendamping.

Guru SKAFN Sondy Yanuarta menambahkan, anak autis yang telah bisa berkembang perilaku dan otaknya dengan baik tidak bisa disamkan dari segi perilaku dengan anak-anak normal. Penyelenggara sekolah inklusi pelu menyadari ada perlakukan khusus bagi anak autis dalam belajar. Kesadaran tentang perlakukan khusus ini bukan mengistimewakan, lebih pada persoalan memahami kelebihan sekaligus kekurangan anak autis dalam belajar.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat