BOGOR,(PR).- Masih banyak pemerintah daerah yang mengabaikan peraturan daerah tentang rencana detail tata ruang di wilayahnya. Berdasarkan catatan Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Rencana Tata Ruang (ATR/BPN) Abdul Kamarzuki, saat ini baru 53 daerah di Indonesia yang memiliki perda RDTR.
“Untuk lebih detail menata kota ya harus punya RDTR. Misalnya daerah ini kalau bangun rumah tingginya harus berapa meter, kawasan sempadan jalan itu berapa meter. Makanya sekarang tata kota wilayah banyak yang berantakan, karena daerah tidak punya acuan RDTR,” ujar Abdul Kamarzuki saat dijumpai seusai menghadiri acara Mayor Caucus di Graha Paseban Sri Bima, Balai Kota Bogor, Senin 9 September 2019.
Abdul mengungkapkan, selain sebagai acuan untuk menata kota, perda RDTR juga penting untuk memudahkan perizinan di wilayah. Saat ada pengusaha yang mendirikan bangunan tidak pada peruntukannya, pemerintah daerah bisa memiliki kekuatan hukum yang kuat untuk melarang aktivitas tersebut.
“RDTR juga untuk kemudahan perizinan, misalnya investor asing masuk, yang pertama kali dia tanya pasti ada enggak itu lokasinya. Kalau punya RDTR kan lebih mudah,” ucap Abdul.
Menurut Abdul, saat ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN terus berupaya mempercepat Rencana Detil Tata Ruang Wilayah melalui perizinan daring atau Online Single Submission (OSS). Namun demikian, Abdul tak menampik, banyak daerah mengeluhkan pengajuan izin melalui sistem tersebut lantaran proses penetapan perda revisi RTRW dan RDTR sangat lama. Pasalnya, sistem OSS sangat detail dalam memeriksa perda.
“Jadi memang ada standar parameter yang harus disamakan, di RTRW itu biasanya kurang detail, sementara kalau sudah masuk sistem OSS tidak bisa dibaca. Satu perda, yang harus direvisi bisa 20.000 item, jadi pengesahan revisi perda itu agak delay, karena masuk sistem itu,” kata Abdul.
Berbelit-belit
Dalam pertemuan 29 wali kota se Indonesia di Graha Paseban Sri Bima, Senin kemarin, beberapa kepala daerah juga turut mengeluhkan tentang berbelit-belitnya kepengurusan regulasi tata ruang.
Wali Kota Bogor Bima Arya mengatakan, curahan hati para kepala daerah tersebut perlu direspons cepat oleh kementerian karena regulasi menjadi kepastian bagi pemerintah daerah dalam merespons percepatan pembangunan.
“Birokrasinya menurut kami terlalu panjang, terlalu ribet, dan lama. Kalau ribet dan enggak jelas, tentu akan merugikan kita di daerah,” kata Bima.