kievskiy.org

Mudik, Momentum Healing Masyarakat Indonesia

Calon penumpang  menaiki Kapal Motor (KM) Sinabung yang bersandar di Pelabuhan Babang, Pulau Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Senin (17/4/2023). Berdasarkan data PT Pelni Cabang Ternate, jumlah penumpang saat mudik Lebaran 2023 yang keluar dari Maluku Utara menggunakan kapal Pelni tercatat sebanyak 4.900 penumpang atau naik 20 persen jika dibandingkan dengan tahun 2022 sebanyak 2.800 penumpang. ANTARA FOTO/Andri Saputra/foc.
Calon penumpang menaiki Kapal Motor (KM) Sinabung yang bersandar di Pelabuhan Babang, Pulau Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Senin (17/4/2023). Berdasarkan data PT Pelni Cabang Ternate, jumlah penumpang saat mudik Lebaran 2023 yang keluar dari Maluku Utara menggunakan kapal Pelni tercatat sebanyak 4.900 penumpang atau naik 20 persen jika dibandingkan dengan tahun 2022 sebanyak 2.800 penumpang. ANTARA FOTO/Andri Saputra/foc. /ANTARA/ANDRI SAPUTRA

PIKIRAN RAKYAT - Mudik menjadi tradisi yang lazim dilakukan sebagian masyarakat dunia. Di Korea Selatan, misalnya, tradisi mudik dilakukan saat perayaan Chuseok yang merupakan festival musim panas Hangawi di tengah musim gugur. Di Negeri Paman Sam, mudik terjadi saat perayaan thanksgiving yang setiap tahunnya dirayakan pada Kamis minggu keempat bulan November. Sementara itu, di China, setiap Tahun Baru Imlek, warga akan mudik ke berbagai daerah yang dikenal dengan istilah Chunyun.

Senada dengan negara-negara tersebut, masyarakat Indonesia juga mengenal tradisi mudik yang dilakukan menjelang perayaan Idul Fitri. Tradisi mudik ini bahkan telah dikenal sejak zaman Majapahit, saat masyarakat pendatang di suatu daerah kembali ke kampung halamannya saat perayaan tertentu. Saat ini, tradisi mudik ini diteruskan oleh para pendatang yang tinggal di kota-kota besar untuk pulang ke kampung halamannya dalam rangka bersilaturahmi dan merayakan Idul Fitri bersama keluarga.

Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI), Dr. Ngatawi Al Zastrouw mengatakan, masyarakat desa yang melakukan urbanisasi ke kota tidak dapat melepas budaya desa yang guyub. Mereka rindu kampung halaman yang menyimpan banyak kenangan dan rindu sanak keluarga. Upaya melepas rindu ini menemukan momentumnya pada saat Idul Fitri. Urbanisasi besar-besaran inilah yang menjadi pemicu lahirnya budaya mudik pada saat Hari Raya Idul Fitri dengan adanya dimensi efektif atau rasa.

Baca Juga: Kumpulan Doa Mudik Lebaran 2023 agar Diberi Keselamatan Selama Perjalanan

Ia menambahkan bahwa peristiwa mudik ini tidak saja terkait dengan masalah komunikasi yang dapat digantikan dengan teknologi. Ada dimensi afeksi yang sangat kuat yang terkait dengan tradisi mudik.

“Teknologi hanya memenuhi aspek kognitif, tetapi tidak dapat memenuhi aspek afektif. Hal inilah yang menyebabkan tradisi mudik terus bertahan meski sudah ada teknologi komunikasi yang canggih sekali pun,” kata Dr. Zastrouw dalam keterangan tertulis Humas UI.

Tradisi mudik dapat bertahan karena memenuhi kebutuhan spiritual dan emosional (psikologis) masyarakat. Kesibukan atas pekerjaan sehari-hari ditambah kerasnya kehidupan masyarakat di perkotaan, mulai dari kemacetan, polusi, serta kesenjangan yang terasa, menjadikan mudik sebagai pilihan terapi psikologis.

Baca Juga: Jadwal Rekayasa Lalu Lintas Mudik Lebaran 2023, Lengkap dengan Rest Area di Jalur Trans Jawa

Menurut Dr. Zastrouw, dibutuhkan momentum untuk kanalisasi emosi sekaligus katarsis atas kejenuhan yang dirasakan. Tradisi ini menjadi momentum katarsis atas berbagai problem psikologis yang dirasakan oleh masyarakat modern urban.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat