kievskiy.org

Analisis 'Perkawinan Dua Dinasti' Prabowo-Gibran dan Paralelnya dengan Filipina

Kolase Bongbong Marcos, Prabowo Subianto, Sara Duterte, dan Gibran Rakabuming Raka.
Kolase Bongbong Marcos, Prabowo Subianto, Sara Duterte, dan Gibran Rakabuming Raka. / Reuters/Ezra Acayan dan Lisa Marie David serta Antara/Dhemas Reviyanto dan Galih Pradipta

PIKIRAN RAKYAT - Indonesia, meski kemenangan presiden barunya belum diresmikan, dinilai memiliki kesamaan dengan Filipina. Hal itu berkaitan dengan perkawinan dua dinasti.

Perkawinan dua dinasti di Indonesia diwakili oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Pasangan calon (paslon) nomor urut 2 itu unggul dalam hasil penghitungan cepat Pemilu 2024, tetapi hasil resminya belum diumumkan KPU.

Penyatuan keduanya dinilai mirip dengan perkawinan dua dinasti di Filipina. Di sana, Presiden Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr berkongsi politik dengan Sara Duterte, anak eks presiden Rodrigo Duterte. Sara Duterte kemudian menjadi wakil dari Bongbong Marcos.

Pengamat menyebutkan, tidak menutup kemungkinan koalisi Prabowo-Gibran akan 'pecah kongsi' seperti apa yang dialami Bongbong Marcos dan Sara Duterte.

Mereka melihat, kerentanan kerja sama politik Prabowo-Jokowi mengingatkan 'perkawinan dua dinasti' di Filipina antara Bongbong Marcos dan Sara Duterte yang kini retak dan di ambang perpecahan. Situasi politik yang berubah, yakni ketika Jokowi tak lagi berkuasa, akan menjadi batu sandungan koalisi dua dinasti ini nantinya.

Apakah Perpecahan Serupa Dapat Terjadi pada Prabowo-Gibran?

Sejumlah pihak khawatir kejadian serupa dapat menimpa Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka. Pasalnya, beberapa pakar memperingatkan bahwa Prabowo Subianto juga tidak pernah berubah, walau dalam masa kampanye terakhir dia mengemas diri dengan citra "gemoy".

"Dorongannya, nalurinya, adalah menjadi xenofobia, menjadi pemimpin otoriter. Saya khawatir dia tidak berubah. Karakternya tidak berubah," kata peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono.

Sejumlah pengamat pun curiga Prabowo Subianto hanya memanfaatkan popularitas Jokowi untuk dapat memenuhi ambisinya menjadi presiden yang sudah tertunda bertahun-tahun. Ketika sudah berkuasa, dia mungkin saja menganggap Jokowi tak lagi penting, kemudian malah menjalankan agendanya sendiri.

"Dalam masa pemerintahan yang berjalan lima tahun, kemungkinan atau peluang itu bisa saja terjadi, apalagi kalau ada realisasi komitmen yang tidak sesuai kesepakatan mereka," tutur dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat