kievskiy.org

KPK Temukan 244 Kasus Mafia Tanah Sejak 2018 sampai 2021, Bagaimana Tanggapan AHY?

Ilustrasi mafia tanah.
Ilustrasi mafia tanah. /Pixabay/Mohamed_hassan Pixabay/Mohamed_hassan

PIKIRAN RAKYAT - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan 244 kasus terkait mafia tanah sejak 2018 hingga 2021. Selain itu, Layanan Aduan Masyarakat (Dumas) KPK juga menerima 207 aduan terkait pelayanan sertifikat, hak tanggungan, dan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada periode 2020-2022.

“Dalam 4 tahun terakhir, Direktorat Monitoring KPK memotret 31.228 kasus di mana 37 persen merupakan sengketa, 2,7 persen konflik, dan 60 persen berupa perkara terkait pertanahan. Selain itu juga ditemukan 244 kasus perihal mafia tanah sejak tahun 2018 hingga 2021,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam keterangannya, Kamis, 30 Mei 2024.

Atas temuan tersebut, Ghufron mengingatkan seluruh Aparat Penegak Hukum (APH) sebagai mitra dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus memahami unsur delik hukum dalam menangani kasus pertanahan. Tujuannya, kata dia, supaya tidak ada kekeliruan saat memutus perkara terkait pertanahan.

“Dalam penanganan perkara, secara yuridis harus diketahui betul bagaimana unsur delik hukumnya, sehingga tidak ada kekeliruan dalam putusan,” ujar Ghufron.

Di sisi lain, Ghufron menyebut banyak tantangan dalam menerapkan pelayanan pertanahan. Tantangan tersebut berpotensi menimbulkan sengketa dan konflik, bahkan memicu munculnya tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian negara. Oleh sebab itu, Ghufron mendorong agar urusan pertanahan dilakukan secara menyeluruh agar dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

“Tanah bukan hanya sekadar unsur ekonomi, namun perlu diurus secara komprehensif sehingga membuat kebermanfaatan bagi masyarakat secara luas,” ujarnya.

Menurut Ghufron, apabila permasalahan pertanahan tidak segera diselesaikan, maka bisa menimbulkan praktik korupsi yang merugikan publik. “Jika permasalahan dibiarkan begitu saja, maka timbul potensi korupsi yang merugikan hajat orang banyak,” tuturnya.

Lebih lanjut Ghufron membeberkan 4 poin utama terkait tata kelola sistem pelayanan pertanahan yang rawan praktik korupsi. 4 poin itu, yakni ketidakpastian syarat, prosedur dan biaya; ketidakmudahan dan sistem yang tidak sederhana; tidak efisien dan efektifnya sistem; serta tidak adanya sarana pengaduan.

Dengan demikian, Ghufron menegaskan perbaikan sistem tata kelola adalah sebuah keharusan. Menurutnya, perbaikan dapat dimulai dari penguatan pencegahan korupsi di internal ATR/BPN demi menjauhi perilaku koruptif.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat