kievskiy.org

Kenaikan Suhu yang Terus Bertambah Berpotensi Bikin Bumi Tak Layak Huni

Ilustrasi cuaca panas.
Ilustrasi cuaca panas. /Pixabay/geralt

PIKIRAN RAKYAT - Populasi manusia yang terus bertambah dan segala kegiatannya telah menciptakan kerusakan di bumi, seperti pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca, polusi lingkungan akibat bahan berbahaya dan beracun, serta kehilangan keanekaragaman hayati. Kenaikan suhu yang sangat meningkat ke depan pun bisa membuat bumi tidak layak huni.

Hal tersebut mengemuka dalam pidato orasi ilmiah Prof. Dr. Jatna Supriatna, Msc, pengajar dan scientist dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia dalam Sidang Terbuka Peringatan Dies Natalis ke-74 di Balai Sidang, Kampus UI, Depok sebagaimana tertuang di keterangan tertulis Humas UI, Sabtu, 3 Februari 2024. Dalam paparannya, Prof. Jatna menyebutkan tahun 2023 merupakan tahun terpanas di dunia. Selain itu, lima tahun terakhir merupakan suhu terpanas dalam sejarah sejak 1850. Tahun ini, suhu bumi sudah mencapai rerata 2 derajat Celsius dibanding dengan preindustrial dan diperkirakan suhu bumi lebih meningkat lagi di tahun-tahun berikutnya.

Ia menjelaskan, kenaikan 1 derajat Celsius dapat mencairkan es di kutub dan membahayakan eksistensi sejumlah satwa. Jika bumi mengalami kenaikan 2 derajat Celsius, dapat melenyapkan 40 persen hutan hujan yang berakibat pada menipisnya cadangan makanan hewan. Selanjutnya, dengan kenaikan 3 derajat Celsius, pepohonan tidak lagi sanggup menahan karbondioksida dan kota-kota besar akan dipenuhi oleh polusi. “Jika terjadi kenaikan 5 derajat Celsius, saya kira bumi tidak lagi layak dihuni. Jadi, kita harus mampu mengerem, agar tidak terus meningkat,” kata Prof. Jatna.

Krisis bumi selanjutnya adalah kehilangan keanekaragaman hayati yang sangat serius, baik dalam jumlah maupun kualitas habitatnya. Hilangnya keanekaragaman hayati disebabkan oleh adanya berbagai kegiatan manusia. Manusia menjadi pusat dari segala sumber persoalan krisis lingkungan hidup dan ancaman terhadap kelestarian sumber daya hayati. Oleh karena itu, persoalan konservasi sumber daya hayati bukan hanya persoalan teknis biologis saja, melainkan juga persoalan sosial budaya.

Lebih lanjut, Prof. Jatna memaparkan krisis bumi lainnya adalah polusi kimia, plastik, air, dan udara. Polusi lingkungan terjadi di setiap sudut bumi, polutan terakumulasi di lingkungan dan mengakibatkan gangguan bagi habitat yang terus terjadi hingga saat ini. Polutan tidak hanya berdampak kepada lingkungan abiotik, tetapi juga berdampak kepada lingkungan biotik.

Untuk itu, selain hanya beradaptasi dengan berbagai krisis lingkungan, Prof. Jatna mengatakan salah satu mitigasi perubahan iklim adalah dengan pengembangan perdagangan karbon, baik berupa green dan blue economy maupun melalui bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dan program dekarbonisasi serta teknologi lain yang terbaru (hidrogen, nuklir, dan lainnya) dan untuk mencapai Net Zero Emission lebih cepat dari yang sudah dijanjikan.

“Kita di universitas berkewajiban untuk mengkaji secara ilmiah terhadap berbagai trade off dalam penggunaan lahan, pemanfaatan keanekaragaman hayati, dampak dari perubahan iklim, serta kebijakan dan pengelolaan terkait hutan dan laut. Oleh karena itu, kita di universitas mempunyai tugas untuk memberdayakan dan menyatukan berbagai aktor pembangunan, serta menghubungkan sistem pengetahuan masyarakat di tingkat tapak dengan ilmu pengetahuan yang multi-inter-trans disiplin di perguruan tinggi agar dapat meningkatkan tata kelola sumber daya alam demi keberlanjutan pembangunan yang inklusif,” ujar Prof. Jatna.

Populasi manusia yang terus bertambah dan segala kegiatannya telah menciptakan kerusakan di bumi, seperti pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca, polusi lingkungan akibat bahan berbahaya dan beracun, serta kehilangan keanekaragaman hayati.

Saat mengawali orasinya, Prof. Jatna juga memberikan gambaran tentang tiga spesies Orang Utan di Indonesia, yaitu Pongo abelli, Pongo tapanuliensis, dan Pongo pygmaeus. Ketiganya merupakan spesies utama dari Indonesia karena hanya ada di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara kepulauan dan berlokasi di daerah tropis yang mempunyai luas hutan tropis terluas nomor tiga di dunia. Indonesia juga memiliki pesisir nomor dua terpanjang di dunia dengan luas laut (70 persen) dan jumlah daratan (30 persen), berupa pulau yang sangat banyak (>17.000). Prof. Jatna mengatakan, potensi keanekaragaman hayati yang luar biasa ini harus dijadikan aset untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat