kievskiy.org

Kisah Raksa Jumantara Urang Bandung: Sembunyi dari Serangan Udara Malah Ketiduran

Ilustrasi tentara.
Ilustrasi tentara. /Pixabay/Army Amber

PIKIRAN RAKYAT - Sebelum bala tentara Jepang menduduki negeri ini pada 1942, warga Bandung dan kawasan sekitarnya mulai berlatih untuk menyelamatkan diri dari serangan udara. Latihan itu dikenal dengan istilah raksa jumantara. Namun, latihan itu terkadang itu membingungkan warga hingga membuat ketiduran di persembunyian.

Suara sirene pemberitahuan serangan udara telah usai terdengar di Jalan Pasirkaliki, persimpangan Jalan Semar, Kota Bandung. Warga pun segera kembali ke aktivitas kesehariannya setelah bersembunyi. Kendaraan-kendaraan mulai berseliweran di jalan. Namun, seorang warga yang bertugas dalam percobaan latihan itu tiba-tiba menyampaikan sirene tanda aman belum berbunyi. Keadaan yang mulai normal kembali kusut akibat adanya informasi yang saling bertentangan tersebut.

Beruntung, mobil yang biasa membunyikan sirene aman melintas menandakan kondisi memang sudah kondusif. "Kakara poeblik ngarasa ngemplong! (Akhirnya, warga merasa lega)," tulis koran berbahasa Sunda, Sipatahoenan dalam pemberitaannya pada Kamis, 14 November 1940. Masa itu, percobaan atau latihan mengantisipasi serangan pesawat-pesawat udara memang tengah dilakukan di Bandung.

Sipatahoenan menuliskan nama latihan itu dengan istilah, Raksa Djomantara atau Raksa Jumantara. Latihan juga berlangsung di Cimahi. Sipatahoenan mencatat, suasana sepi terjadi di Kota Tangsi Militer tersebut kala latihan berlangsung. "Poekoel tujuh peuting oge geus teu aja nu ngaliwat, delman djeung mobil ngan aja hidji doea noe ngaliwat (Pukul tujuh malam saja sudah tidak ada yang melintas di jalan, hanya satu dua mobil dan delman saja yang melintas)," tulis Sipatahoenan.

Suasana sepi juga terlihat di Stasiun Cimahi. "Katjida poekna di djalan teh. Beuki komo kaajaan di djalan antara Katjamatan djeung station Tjimahi mah. Poekoel satengah 8 di station teh geus teu aja delman, sarta katjida powekan oge di station Tjimahi oge (Jalanan sungguh gelap. Apalagi di jalan antara kecamatan dan Stasiun Cimahi. Pukul 19.30, di stasiun sudah tak ada delman serta kondisinya juga gelap)."

Sementara di dalam kereta api, lampu masih menyala seperti biasa. Namun, pintu dan jendela di tutup. Keadaan berbeda tampak di Stasiun Bandung yang tak begitu gelap serta masih banyak oplet dan mobil. Sedangkan di jalan antara Stasiun Bandung dan Bojongloa (Kopoweg) sama seperti di Cimahi, yakni sangat sepi. "Toko djeung waroeng2 kabeh naroetope djeung ngan aja hidji doea totoempakan oge (Toko dan warung-warung semuanya tutup, hanya ada satu dua kendaraan yang melintas)."

Ketiduran

Yang menarik justru terjadi di kampung-kampung. Selain sepi, beberapa warga malah ketiduran dalam persembunyian. "Loba oge anoe kalepasan njoempoetna djeung talibra sarena lantaran ti Magrib keneh geus njarompoet (Banyak warga yang kebablasan bersembunyi hingga tidur lelap karena sejak magrib bersembunyi)."

Lalu mesti ke mana warga berlindung saat itu? Sipatahoenan pada Sabtu, 27 Desember 1941 sempat mengulas itu dalam tulisannya. Warga bisa bersembunyi di lubang perlindungan.

Sipatahoenan pada Senin, 24 Maret 1941 menuliskan upaya Pemerintah Kota Bandung mencegah serangan udara dengan pembuatan lubang perlindungan pada 1940.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat