kievskiy.org

Dunia Usaha Butuhkan Data Tunggal Pertanian

PETANI Kabupaten Cirebon memanen padi di sawah beberapa waktu lalu. Tidak adanya data tunggal pertanian saat ini masih menyulitkan perumusan kebijakan yang berdampak pada petani serta kepastian usaha sektor pertanian.*
PETANI Kabupaten Cirebon memanen padi di sawah beberapa waktu lalu. Tidak adanya data tunggal pertanian saat ini masih menyulitkan perumusan kebijakan yang berdampak pada petani serta kepastian usaha sektor pertanian.*

BANDUNG, (PRLM).- Pemerintah dan Badan Pusat Statistik (BPS) harus memastikan dan menjamin Mantri Statistik (Mantik) turun langsung ke lapangan jika ingin mendapatkan data tunggal pertanian yang benar-benar valid dan objektif. Selain itu BPS juga harus dikolaborasikan dengan berbagai pihak terkait lain dalam pengumpulan, pengolahan dan penyusunan data resmi pertanian. Hal itu ditegaskan oleh Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat Entang Sastraatmadja. Ia menilai selama ini data pertanian yang dicatat BPS seringkali berbeda dengan data pembanding hasil survey instansi lain atau lembaga independen. "Namun pada akhirnya tetap data BPS yang dipegang, karena sesuai Undang-undang BPS lah yang berhak menghimpun dan memublikasikan data atas nama negara dan bangsa," ujarnya saat dihubungi Senin (3/7/2015). Entang mengapresiasi komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berkomitmen terhadap penggunaan data tunggal pertanian. Seperti diketahui, hal itu disampaikan Jokowi dalam sambutannya pada Musyawarah Nasional HKTI VIII 2015 di Asrama Haji, Jakarta, Jumat (31/7/2015) lalu. Jokowi menilai bahwa tidak adanya tunggal selama ini menjadi persoalan dasar bagi pemerintah dalam memajukan pertanian nasional. Pernyataan itu diamini Entang yang sejak dua tahun lalu berulang kali menggaungkan soal "Satu Data Pertanian". Menurut dia data merupakan pijakan penting dalam pembangunan, termasuk di sektor pertanian. Tanpa data yang benar, maka hasil pembangunan pun akan keliru. Selama ini, kata Entang, banyak sekali data pertanian pembanding yang dihimpun oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) sampai perguruan tinggi. Nyatanya, data tersebut seringkali berbeda dengan data BPS. Namun aturan yang ada menegaskan bahwa hanya data BPS yang resmi, sedangkan data lain hanya digunakan sebagai pembanding dan bukan data resmi yang dapat dipublikasikan pemerintah. Meskipun demikian, Entang menegaskan, data tidak hanya diperlukan oleh pemerintah untuk perencanaan pembangunan. Namun juga dibutuhkan oleh dunia usaha di sektor pertanian sebagai bahan pertimbangan investasi dan strategi usaha. Perbedaan data antara BPS dan lembaga lain yang juga dinilai valid, seringkali membuat kepercayaan pengusaha pertanian terhadap data resmi BPS berkurang. Terlebih secara kasat mata para pengusaha sering mengeluhkan bahwa data BPS seringkali tidak sesuai kondisi kekinian dan metode perhitungannya dinilai kurang signifikan. "Saat ini pun kepercayaan dunia usaha terhadap data BPS terbilang minim. Ini pukulan telak bagi BPS, karena kalau BPS tak lagi dipercaya, data mana yang akan kita percayai?. Akibatnya para pengusaha seringkali terpaksa melakukan penghitungan data sendiri demi terjaminnya kelancaran usaha mereka," ujar Entang. Jika pemerintah berkomitmen untuk menciptakan data tunggal yang valid, objektif dan kekinian, kata Entang, maka langkah yang harus segera dilakukan adalah perumusan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sistem Informasi Pangan sesuai amanat UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Selain itu, RPP Ketahanan Pangan dan Gizi, RPP Kemanan, Mutu dan Gizi Pangan serta RPP Label Pangan, juga harus dipertajam lebih lanjut.(Handri Handriansyah/A-147)***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat