kievskiy.org

LCS Rupiah dan Yuan Bisa Bikin Persaingan Produk Lokal dengan Produk China Kian Ketat

Miniatur kapal dalam botol dari Klepu, Ceper, Klaten, Jawa Tengah. Kerajinan tersebut dijual Rp6.000 hingga Rp50.000 bergantung ukuran botol dan tingkat kesulitannya untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri dan ekspor ke Amerika, Jepang dan Turki.
Miniatur kapal dalam botol dari Klepu, Ceper, Klaten, Jawa Tengah. Kerajinan tersebut dijual Rp6.000 hingga Rp50.000 bergantung ukuran botol dan tingkat kesulitannya untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri dan ekspor ke Amerika, Jepang dan Turki. /Antara/Aloysius Jarot Nugroho

PIKIRAN RAKYAT - Pengusaha menyambut baik kebijakan skema pembayaran dengan mata uang lokal dalam transaksi perdagang­an Indonesia-China (dan beberapa negara lain).
 
Skema pembayaran local currency settlement (LCS) bisa menjadi alternatif untuk mengurangi kebergantungan dan dominasi mata uang dolar Amerika Serikat (AS).
 
Di sisi lain, skema pembayaran LCS akan membuat persaingan antara produk lokal dengan produk China semakin ketat.
 
”Seperti yang kita ketahui, nilai tukar dolar AS bisa ber­fluktuasi dengan cukup besar, berbeda dengan mata uang RMB yang nilainya dipatok,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, Selasa 8 September 2021.
 
 
Ning Wahyu menilai, dengan skema pembayaran LCS, harga barang-barang impor dari China akan lebih stabil, baik untuk bahan baku maupun produk jadi.
 
Spekulasi akan semakin kecil dan kestabilan harga bisa terpantau untuk jangka panjang.
 
”Pengusaha juga bisa mengurangi biaya konversi dikarenakan hanya cukup satu kali melakukan konversi mata uang,” ujarnya.
 
Harga bahan baku dan produk jadi dari China, menurut Ning Wahyu, juga akan lebih murah.
 
Hal ini juga akan memberikan keuntungan bagi pengusaha yang menggunakan bahan baku asal China dan pedagang yang menjual produk jadi dari China.
 
”Pada dasarnya, kebijakan ini akan menguntungkan kedua negara. Bagi pengusaha China, kebijakan ini ­juga akan bisa menekan biaya pertukaran mata uang,” ­tuturnya.
 
 
Dengan demikian, para peng­usaha di China dapat me­nu­runkan harga jual produk­nya. Ini tentu akan semakin meningkatkan daya saing pro­duk mereka di pasar Indo­nesia.
 
Ia tidak menam­pik, skema pembayaran LCS ini juga akan menimbulkan dam­pak negatif bagi Indonesia. Pasalnya, sejumlah produk lo­kal bersaing langsung de­ngan produk China.
 
”Skema pembayaran LCS akan membuat persaingan antara produk lokal dengan produk China semakin ketat,” ujarnya.
 
Secara umum, ia me­nilai, perubahan ini belum akan berdampak terlalu signifikan. Pasalnya, untuk saat ini, perdagangan yang menggunakan RMB baru dengan China.
 
”Ekspor dan impor ke dan dari negara-negara lain masih banyak yang menggunakan dolar AS ataupun mata uang lain. Namun demikian, hal ini merupakan langkah awal yang sangat baik dan diperlukan untuk stabilisasi ekonomi yang lebih baik,” tutur Ning.
 
 
Sementara itu, Akademisi Unpad Yayan Satyakti me­nga­takan, komposisi ekspor Indonesia-China terdiri atas sumber daya alam tidak terbarukan dan tidak memiliki nilai tambah signifikan.
 
Kondisi tersebut membuka kekhawatiran kemungkinan produk ekspor Indonesia yang dijual kembali ke Indonesia oleh Tiongkok de­ngan nilai tambah yang lebih baik akan merugikan Indonesia dari sisi penciptaan nilai tambah.

Komoditas ekspor dominan Indonesia ke China pada 2019, yakni batubara dan sejenisnya sebesar 29,63 persen, minyak kelapa sawit sebesar 13,03 persen, disusul besi dan baja 11,08 persen, dan bijih besi dan debu hasil smelter 8,3 persen, dan pulp wood 7,2 persen.
 
Pada 2020, ekspor Indo­nesia ke China didominasi besi dan baja 23,70 persen, minyak dan gas 22,16 persen, minyak kelapa sawit 11,23 persen, pulp wood 6,4 persen, dan bijih besi, debu hasil smelter 4,59 persen.
 
”Karena yang kita jual ba­rang mentah, jika seperti itu akan negatif dari sisi penggu­na­an SDA tidak efisien,” kata­nya.
 
 
Yayan menilai upaya LCS tidak semata terkait dengan kepentingan ekonomi tetap sarat dengan hubungan secara geopolitik.
 
Melalui kebijakan tersebut pembengkak­an nilai proyek dan perbeda­an nilai tukar yang disebab­kan perekonmian AS bisa d­i­tekan. Sehingga ia mene­kan­kan Indonesia harus berhati-hati.
 
”Dengan sistem LCS secara teori akan menolong, mengurangi ketergantungan terhadap dolar, dan memiliki bargaining po­wer. Dengan dolar sangat tergantung de­ngan kinerja perekonomian AS. Sementara kita juga mengetahui AS de­ngan tiongkok sedang perang sehingga mitra dagangnya dicoba digeser ke yuan,” kata­nya.
 
Dengan demikian, kata Yayan, dengan kebijakan ter­sebut, Indonesia harus memperoleh manfaat dengan menghitung betul manfaat yang diperoleh jika menggu­na­kan atau tidak mengguna­kan dolar AS.
 
Selain itu, pertanyaan lainnya adalah ba­gai­mana dengan kesiapan sistem perbankan Indonesia untuk mendukung kebijakan tersebut
 
”Sejauhmana masyarakat menggunakan yuan jika dila­ku­kan mendadak, maka bisa jadi demand yuan meningkat signifikan, bagaimana stok yuan, siapkah? Jika tidak si­ap, bisa kena double, baik yu­an maupun dolar AS. Kha­wa­tir kita mengalami demand of yuan lebih banyak ka­rena kebijakan ini ketika ada shortage of supply karena aliran yuan tidak bagus malah jadi­nya bermasalah,” katanya.

Nilai tukar

Tenaga ahli Free Trade Agreement Center (FTA Center) Bandung Arief Bustaman mengatakan, upaya yang dilakukan BI tersebut bagus.

 
Langkah itu akan menambah diversifikasi mata uang sehingga tekanan rupiah akibat pergerakan dolar AS bisa ber­kurang.
 
Hanya dari sudut pandang perdagangan (ekspor-impor) barang maupun jasa, kepu­tus­an mata uang yang digunakan tetap bergantung pada kesepakatan antara eksportir dengan importir.
 
Misalnya, dari informasi yang dimiliki kesepakatan serupa telah dilakukan dengan Jepang pada September 2020 lalu. Akan tetapi, praktiknya, transaksi yang dilakukan dengan pembeli Je­pang masih tetap mengguna­kan dolar AS.
 
”Kembali lagi kepada pre­fe­rensi para pihak yang ber­tran­saksi. Banyak pertim­bang­­a­n yang dilakukan para pi­hak untuk memutuskan ma­ta uang mana yang akan di­pakai dalam transaksi,” kata­nya.
 
Pertimbangan tersebut antara lain volatilitas nilai tukar, kemudian untuk perusahaan multinasional umumnya me­miliki kebijakan mata uang utama yang digunakan dalam transaksi. Kebijakan tersebut ditetapkan oleh kantor pusat.
 
”Sehingga bisa saja barang ekspornya memang dari Indo­nesia ke China, tetapi yang mengoperasikan adalah kantor yang ada di luar Indonesia dan China. Jadi, dalam ekspor, bisa saja terjadi importirnya dari luar China, tapi barangnya dikirim ke China. Ini kembali­nya ke preferensi kedua belah pihak akan menggunakan mata uang apa,” katanya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat