kievskiy.org

Omnibus Law Cipta Kerja Untungkan Konglomerat dan Politikus, Lemahkan Buruh Perkuat Oligarki

Keranda dalam teatrikal aksi demo buruh tolak omnibus law di Cikarang, Bekasi.
Keranda dalam teatrikal aksi demo buruh tolak omnibus law di Cikarang, Bekasi. /Pikiran-rakyat.com/Tommi Andryandy

PIKIRAN RAKYAT - Undang-undang Cipta Kerja disahkan, Senin, 5 Oktober 2020 malam.

Aksi unjuk rasa tolak omnibus law Cipta Kerja, berlangsung tiga hari berturut setelahnya, menyebabkan kerusakan banyak fasilitas umum.

Pemerintah, bahkan melalui Presiden Joko Widodo menyebut penolakan itu lantaran demonstran termakan hoaks, mengenai gaji dan cuti misalnya.

 Baca Juga: Diurus 3 Menteri Sekaligus, 30 Juta Vaksin Covid-19 Bakal Diterima Indonesia Akhir Tahun 2020

Namun, ulasan akademisi berikut ini, menjawab sebagian klaim-klaim pihak pro Omnibus Law Cipta Kerja, yang menyebut undang-undang ini positif menggerakkan perekonomian bangsa.

Ekonomi bangsa yang mana? Bangsa buruh yang lemah, atau elite yang ada di tatanan oligarki?

Pandemi COVID-19 dan demonstrasi tak menyudutkan langkah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengesahkankan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja. Meski sempat berjanji untuk menunda, pemerintah justru mengebut penyusunan aturan kontroversial ini, bahkan saat DPR sedang reses.

 Baca Juga: Penampakan Badan Jalan TMMD di Kalinusu Brebes Titik 900 Meter

Proses politik yang problematik dan tidak transparan tentu mengundang pertanyaan. Gelombang penolakan terus muncul menyusul pengesahan UU Cipta Kerja yang memukul mundur hak pekerja. Pemerintah berdalih bahwa UU Cipta Kerja diperlukan untuk memulihkan perekonomian. Asumsinya, pelonggaran aturan kerja akan menarik investor masuk, yang kemudian mendorong pembukaan lapangan kerja.

Celakanya, RUU Cipta Kerja tidak akan berdampak banyak untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Yang terjadi justru regulasi ini akan memperkuat oligarki atau politik mempertahankan kekayaan lewat lobi-lobi dan korupsi.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat