kievskiy.org

KPI Kehilangan Roh, Rajin Bikin Kontroversi

Ilustrasi mutu siaran TV.
Ilustrasi mutu siaran TV. /Pikiran Rakyat/Yusuf Wijanarko

PIKIRAN RAKYAT - Berbagai pihak ­menyatakan KPI (Komisi Penyiaran ­Indonesia) sudah kehilangan roh dalam ­menjalankan fungsi-fungsi yang diamanatkan Undang-Undang Penyiaran dan masyarakat.

Pernyataan itu muncul lantaran KPI sering mengeluarkan ­pernyataan atau membuat kebijakan yang mengundang kontroversi. Bahkan, masyarakat menilai KPI sudah
tidak diperlukan lagi.

KPI merupapkan lembaga penegakan aturan terkait konten penyiaran yang seharusnya berpihak kepada kepentingan publik.
 
Oleh karena itu, KPI tidak perlu mengeluarkan pernyataan kontroversial, tetapi merujuk saja pada aturan yang sudah tertulis dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS).
 
 
Eni Maryani, pakar komunikasi yang juga Kepala Departemen Komunikasi dan Informasi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, di Bandung, Minggu 12 September 2021 mengatakan, banyak konten siaran yang tidak sejalan dengan SPS.
 
Alih-alih bertindak tegas terhadap pengelola media, KPI malah sering mengeluarkan pernyataan kontroversial.
 
Ia menyebut, komentar komisioner KPI tentang beragam konten siaran, seperti tayangan yang menghadirkan Saipul Jamil, tayangan Upin dan Ipin, dan perkawinan artis kontroversial.
 
KPI seharusnya mengomentari dan membuat kebijakan yang fokus terhadap konten, apakah sesuai atau tidak dengan aturan di SPS.
 
"Banyak kejadian ketika seharusnya KPI bersikap tegas kepada acara yang jelas-jelas melanggar SPS, tapi itu tidak dilakukan. Beberapa kasus terakhir, pimpinan KPI pusat tidak berucap hati-hati sebagai pimpinan lembaga yang mewakili publik. Pernyataannya seharusnya dalam konteks aturan, tapi yang muncul jadi bersayap, jadi banyak kontroversi. Sehingga, kalimatnya bisa dimaknai macam-macam. Rujukannya seharusnya langsung pada aturan," ucapnya.
 

Kontroversi tayangan siaran langsung pernikahan artis pun tidak menuai tindakan tegas. Bahkan, argumen sebagai tayangan budaya diterima oleh KPI.
 
Pa­dahal, dalam Pasal 13 SPS, ta­yangan seperti itu tergolong tidak menghormati hak privasi, serta Pasal 14 soal tidak mem­perha­tikan kepentingan anak ke­tika siaran seperti itu dibiarkan.
 
"Tugas KPI adalah tegas menegakkan aturan. KPI sebagai lembaga yang mewakili publik harus berlakukan atur­an karena frekuensi yang digunakan media penyiaran adalah frekuensi publik. Kepentingan publik menjadi yang utama," ujar Eni.
 
Publik, kata dia, harus diinformasikan apa saja tindakan tegas yang sudah dilakukan KPI ke pengelola media penyiaran karena KPI adalah lembaga independen yang mewakili kepentingan publik.
 
Karena informasi itu tidak ada, akhirnya publik me­rasa keberadaan KPI tidak signifikan.  Apalagi karena konten yang tidak mendidik terus saja disiarkan setelah bertahun-tahun lembaga itu berdiri.

Berpihak ke publik

Menurut Eni yang juga aktif di Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran, publik tetap menghargai keberadaan KPI sebagai lembaga independen yang membantu kontrol konten penyiaran.

 
Oleh karena itu, publik mengharapkan KPI selalu berpihak pada kepentingan publik, bukan industri pertelevisian.
 
"KPI adalah lembaga regulator, acuannya aturan, jangan mengacu ke kepenti­ngan bisnis karena kasihan ke industri media. Itu bukan urusan KPI. Masalah bisnis me­dia itu urusan lain dan jangan sampai regulasi tidak berjalan karena memikirkan kepentingan industri. Tugas KPI tegas pada aturan," tuturnya.
 
 
Dikatakannya, industri pertelevisian tidak perlu diwakili karena mereka memiliki kekuasaan.
 
KPI harus berorientasi pada kepenting­an publik sesuai aturan SPS. Bila industri mengeluh, seperti misalnya tentang iklan dan lainnya, pelaku bisnis biasanya sudah tahu bagai­mana menyikapinya.
 
Praktisi media komersial yang tidak mau mengikuti SPS memang dikatakannya menjadi kendala untuk pe­nyediaan konten siaran yang bermanfaat bagi publik.
 
Kondisi demikian semakin parah karena praktik seperti itu dibiarkan sehingga mereka terus mencoba semena-mena terhadap atur­an. KPI seharusnya tegas pada setiap pelanggaran tanpa terkecuali.
 
Mengenai tindakan KPI yang biasanya terlambat, Eni mengatakan, hal itu akhirnya yang menjadi pola pemantauan KPI.
 
Meski, diakuinya, KPI memang hanya boleh memberikan peringatan ketika konten sudah ditayangkan.
 
Dengan begitu, ada sanksi sesuai UU yang bisa dikenakan kepada pelanggar untuk siaran yang sudah ditayangkan.
 
"Tapi, KPI sebenarnya bisa sampaikan ke industri bahwa kami berharap SPS dipatuhi. Dan, yang sudah ada indikasinya, sudah ada iklannya, itu bisa ditindak. Seperti sinetron yang artisnya di bawah umur (anak-anak), walau belum ditayangkan, tapi sudah diiklankan. KPI memang kurang memposisikan diri sebagai wakil masyarakat atau publik. Padahal, kami sebagai publik tidak membebani KPI dengan pengawasan yang tidak ada aturannya, sesuai aturan saja," tutur Eni.

Kehilangan roh

Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung Atie Rachmiati menilai, KPI saat ini sudah kehilangan roh untuk menjalankan fungsi-fungsi yang diamanatkan UU Penyiaran dan masyarakat.

 
Beberapa kejadian akhir-akhir ini yang bersangkut paut dengan KPI dan bagai­mana respons yang di­mun­culkan secara lembaga, juga menjadi suatu kemuduran besar.
 
"Ini benar-benar suatu kemunduran. Sudah kewenangannya semakin dikikis, kebijakan yang diambil juga tak peka. Sekarang saya malah agak malu karena pernah menjadi bagian dari KPI selama dua periode," ucap eks Ketua KPID Jawa Barat itu, Minggu 12 September 2021.
 
Kasus perundungan yang dialami karyawan KPI pusat oleh rekan kerjanya yang saat ini sedang ramai diberitakan, disebutkan Atie, harus diselesaikan dengan bertanggung jawab dan profesional.
 
Ketua KPI harus bertidak tegas dan peka. Apalagi, KPI merupakan lembaga pengawasan yang bersangkut paut dengan moralitas.
 
"Kalau kasus di dalam lembaga saja tidak bisa diselesaikan, bagaimana masyarakat mau percaya bahwa lembaga pengawasan ini juga bisa bekerja sebagaimana mestinya," ujarnya.
 
Kontroversi KPI yang meng­izinkan eks narapidana pencabulan anak Saipul Jamil untuk bisa tampil di program edukasi televisi, juga disebut­kan Atie merupakan suatu ke­bijakan yang tak masuk akal sehat.
 
Dia berpendapat, ba­gai­mana mungkin seseorang yang terbukti bersalah mela­kukan hal tak senonoh justru diizinkan tampil di sa­luran frekuensi milik publik.
 
Atie menegaskan, televisi merupakan salah satu salur­an yang berada di ruang publik dan terikat aturan serta etika penyiaran.
 
Frekuensi yang digunakan juga merupakan sumber daya yang dimiliki negara. Sesuai UUD 1945, harus kembali lagi sebesar-besarnya untuk kesejahtera­an rakyat.
 
"Artinya, frekuensi itu hanya dipinjamkan, pemiliknya tetap masyarakat," ujarnya.
 
Dia menyayangkan, realita di dunia penyiaran yang sebagian besar masih mengagungkan uang dan rating hingga kini yang masih belum berubah.
 
Bak lingkaran setan, karena banyak juga masyarakat yang punya selera rendah tentang kualitas tontonan.
 
"Yang harus memutuskan lingkaran setan itu adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap frekuensi publik itu, Kominfo dan KPI. Semua harus satu visi," ujar Atie.
 
Dia menilai, lanskap pe­nyiaran Indonesia saat ini masih sulit dituntaskan karena berkaitan dengan pergerakan ekonomi, politik, dan hal-hal lain.
 
Misalnya, kepemilikan silang pengusaha media yang dibatasi. Ketika bersinggungan dengan hal-hal semacan itu, Atie menilai, KPI tidak berdaya dalam ranah tersebut.

Tidak diperlukan

Sebagai ibu satu putra berusia 6 tahun, Dias (38) menilai, tontonan di aplikasi streaming atau over the top (OTT) dan Youtube lebih aman dan berfaedah jika dibandingkan program di televisi Indonesia.

 
Pasalnya, sebagai orangtua, dia lebih mudah mengontrol de­ngan membuat pengaturan tayang­an.
 
Untuk itulah, kata Dias, tidak perlu ada lembaga seperti KPI untuk mengatur tayangan televisi.
 
"Pilihan tontonan di televisi sama seperti nonton di OTT atau Youtube. Dibebaskan saja, sesuai sele­ra. Pemirsa juga sudah tahu konsekuensinya. Kalau tidak suka, tinggal matikan televisi atau pindah kanal," kata Dias.

Menurut Dias, selama ini KPI memiliki standar ganda yang aturan dasarnya tidak jelas. Misalnya, pelaku keke­rasan seksual dan pedofilia bisa masuk televisi dengan beragam alasan, tapi tayang­an kartun atau darah saja di­sensor.
 
Bahkan, sinetron de­ngan cerita tidak masuk akal dan terlihat menghina nalar, bebas tayang.
 
Senada dengan Dias, Ita (39) juga mengatakan, aturan sensor yang dibuat KPI kerap tidak jelas.
 
Apalagi, sanksi atau teguran kepada stasiun televisi juga seperti angin lalu yang mudah dilupakan.
 
“Lembaga seperti KPI diperlukan, tapi wewenang dan tugasnya harus diperjelas. Kalau mau sensor misalnya ujaran kebencian atau adegan seks saja, ini cukup. Selain itu diperlukan sistem pelaporan dari masyarakat yang transparan. Kalau ada lebih dari 1.000 laporan, otomatis programnya diblok," ujar Ita.
 
AVP Brand Communications Net TV Nugroho Agung Prasetyo menyebut, sejauh ini peran KPI cukup baik walau pengurusnya ber­ganti.
 
Menurut Agung, fungsi KPI sebagai pembina juga masih efektif karena memberi masukan ke setiap program televisi.
 
Apa yang menjadi masukan dari KPI masih dalam batas wajar karena biar bagaimanapun televisi memakai frekuensi publik.
 
"Kalau di Net TV, sebelum ditegur, kami ada kontrol di internal. Sejak awal setiap program hiburan sudah di­siap­kan agar tidak hanya menghibur tapi juga ada misi edukasi ke pemirsa," kata Agung.
 
Menurut dia, selama 9 tahun mengudara, Net TV termasuk jarang kena tegur atau mendapat "surat cinta" dari KPI.
 
Kalau ada tegur­an, mereka langsung menindaklanjuti. Agung mengaku, Net TV peduli dengan pemirsanya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat