kievskiy.org

Psikolog: Kebiasaan Pamer Hidup Mewah Hanya Upaya Tutupi Sakit dalam Jiwa

Ilustrasi pamer hidup mewah pejabat.
Ilustrasi pamer hidup mewah pejabat. /Pixabay/OpenClipart-Vectors Pixabay/OpenClipart-Vectors

PIKIRAN RAKYAT - Fenomena pamer hidup mewah banyak ditemui dalam media sosial terutama kalangan pejabat yang memegang peranan penting di berbagai instansi negara. Menyikapi hal itu, psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Novi Poespita Candra, menyebut kebiasaan itu sebagai tanda kejiwaan yang tidak baik.

Kebiasaan pamer hidup mewah, dijelaskan Novi, sebagai prinsip hedonisme yang mengejar kesenangan apapun yang berasal dari duniawi. Alih-alih kesenangan duniawi, Novi menilai kebiasaan pamer hidup mewah sebenarnya cara untuk mengurangi rasa sakit dalam jiwanya.

"Hedonism (pamer hidup mewah) ini muncul karena biasanya ingin mengurangi rasa sakit (pain) dalam jiwanya, misal rasa kelelahan jiwa, kehilangan makna hidup, rasa bersalah, dan lain-lain yang muncul," ujar Novi Poespita Candra dalam pernyataan pada Kamis, 2 Maret 2023.

Lebih lanjut, Novi menerangkan kebiasaan bermewah-mewahan juga tercipta dari lingkungan sosial yang makin mendorong kuat gaya hidup itu.

Baca Juga: Rafael Alun Trisambodo ‘Disandera’ KPK, Perumahan Mewah di Minahasa hingga ‘Kolega’ Jadi Sasaran

"Jadi, selain gaya hidup karena cara berpikir, maka lingkungan dia yang 'sama' membuat perilaku hedonism ini semakin menguat," ujarnya.

Menurut Novi, hedonisme dapat dibenahi dengan memperhatikan empat hormon dalam tubuh manusia yakni dopamin, oksitosin, serotonin, dan endorfin. Untuk yang pertama, hormon dopamin yang berkembang akan menciptakan kehidupan dengan diiringi langkah-langkah positif.

Kemudian, hormon oksitosin dapat mempengaruhi kebahagiaan seseorang terutama tentang rasa cinta, kasih sayang, dan empati. Selanjutnya, hormon serotonin menghidupkan kebermaknaan bagi orang lain seperti kegiatan sosial, relawan, dan sebagainya. Hingga yang terakhir, hormon endorfin akan jadi pelengkap yang menciptakan kegembiraan lebih lepas.

"Jika ada yang kurang dari yang di atas, maka tidak tercipta kebahagiaan. Dia sakit jiwanya dan merasa harus mengejar kesenangan dengan hedonism, yang sering orang awam sebut kebahagiaan semu," ujarnya menegaskan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat