kievskiy.org

Hasil Penelitian: Harga Obat Mahal Tidak Berarti Kualitasnya Lebih Baik, Jangan Tertipu

Ilustrasi obat-obatan.
Ilustrasi obat-obatan. /Pixabay/jarmoluk

PIKIRAN RAKYAT - Penelitian yang dilakukan Systematic Tracking of At-Risk Medicines (STARmeds) yang berkolaborasi dengan Universitas Pancasila, Imperial College London, dan Erasmus University Rotterdam, menemukan bahwa mahalnya harga obat di Indonesia tidak selalu mencerminkan kualitas yang lebih baik.

Dari 1.274 sampel obat yang diteliti, sepertiga di antaranya memiliki harga 10 kali lipat lebih mahal dibandingkan produk sejenis yang paling murah, tetapi kualitasnya tetap sama.

Penelitian diluncurkan seiring dengan cita-cita global untuk memastikan akses terhadap obat-obatan dan vaksin esensial yang aman, efektif, berkualitas, dan terjangkau bagi semua masyarakat, sesuai dengan rencana pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang ditargetkan tercapai pada tahun 2030.

Prof. Dr. apt. Yusi Anggriani, M.Kes, Co-Principal Investigator of STARmeds tergerak melakukan penelitian ini saat publik dan media mulai mempertanyakan kualitas dari obat yang memiliki harga murah atau bahkan gratis. "Kami tertarik untuk untuk melihat apakah harga obat akan selalu berbanding lurus dengan kualitasnya," katanya.

Baca Juga: 6 Rekomendasi Obat Flu, Mudah Ditemukan di Warung atau Apotek

Dia ditemui dalam kelas jurnalis yang membahas hasil riset ini. Kegiatan dilakukan pada Selasa, 3 Oktober 2023 di Jakarta yang melibatkan jurnalis dari berbagai media.

Dalam studi ini, sampel diambil dari lima jenis obat, termasuk antibiotik (amoksisilin & cefixime), obat asam urat (allopurinol), obat untuk tekanan darah tinggi (amlodipine), dan steroid (dexamethasone). Sampel obat dikumpulkan dari rumah sakit, apotek, dan platform e-commerce di wilayah Jabodetabek, serta di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia Bagian Barat, Tengah, dan Timur, termasuk Medan/Labuhan Batu; Surabaya/Kabupaten Malang; dan Kupang/Timor Tengah Selatan.

Hasilnya menunjukkan bahwa hampir sepertiga obat sampel yang harganya lebih dari 10 kali harga produk setara termurah, dan 10 persen sampel obat dengan harga teratas dihargai lebih dari 30 kali harga terendah, meskipun kualitasnya serupa.

Tingkat kegagalan pengujian kualitas obat jauh lebih tinggi pada antibiotik dibandingkan obat-obatan lain. Prevalensi yang disesuaikan dari antibiotik yang gagal dalam uji laboratorium adalah 6,8 persen, dua kali lipat lebih dari 3,1 persen yang diperkirakan untuk non-antibiotik, dengan kebanyakan gagal dalam pengujian disolusi.

“Ini mengkhawatirkan. Jika obat antibiotik tidak melepaskan cukup bahan aktif ke aliran darah pasien, mereka mungkin hanya membunuh bakteri yang rentan tetapi tidak membunuh bakteri resisten yang dapat mengakibatkan penyebaran infeksi yang resisten," ujar Yusi.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat