kievskiy.org

Rendang: Makanan Perjalanan Haji dan Tradisi Merantau

Menu rendang tersaji di warung makan Padang di Desa Cipeundeuy/Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Senin, 6 Mei 2024.
Menu rendang tersaji di warung makan Padang di Desa Cipeundeuy/Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, Senin, 6 Mei 2024. /Pikiran Rakyat/Bambang Arifianto

PIKIRAN RAKYAT - Di balik kelezatannya, rendang memiliki catatan sebagai bekal makanan yang dibawa orang-orang yang melaksanakan ibadah haji di masa lalu. Selain rasa, makanan itu juga awet untuk dibawa dalam perjalanan panjang menuju Tanah Suci.

"Mekkah adalah tujuan paling jelas yang yang membuat rendang merantau sampai jauh ke sana melalui tangan orang-orang Islam dari Sumatra Barat yang menunaikan ibadah haji," tulis Fadly Rahman dalam bukunya, Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia

Sejarawan kuliner tersebut mencatat, kenangan Sri, seorang Minang berdarah Sunda tentang rendang di masa kecilnya di Padang Panjang. Pada sekira 1940, Sri sempat melihat langsung neneknya memasak 5-10 kilogram daging kerbau dalam sebuah wajan besar.

Nenek Sri bercerita rendang merupakan bekal penting orang-orang Islam yang melaksanakan haji. 

"Selain disukai dan dikenal sebagai makanan bekal, rendang dianggap bernutrisi, tahan lama tanpa harus disimpan dalam pendingin, dan tidak harus selalu sering dipanaskan/digoreng ulang," tulis Fadly. 

Tak pelak, rendang pun disukai untuk disimpan lama dan sewaktu-waktu disajikan dalam pesta keluarga serta selamatan.

Sejarah Rendang

Menurut Fadly, kata rendang nyaris tidak disebut-sebut dalam berbagai literatur padan kurun abad ke-18. 

"Namun, jika kita kembali mempelajari kebudayaan Luso-Asia yang menancap di kawasan Malaka pada abad ke-16, tampaknya harus dipertimbangkan dari mana asal-usul memanaskan daging berulang-ulang hingga kering dan tahan lama ini diadopsi, khususnya di kalangan orang Minang," tulisnya. 

Lusio-Asia adalah hubungan budaya Iberia (Spanyol dan Portugis) dengan kebudayaan India, Melayu, dan Tionghoa yang semakin menguat seiring kontak niaga dengan Asia Tenggara, Sri Langka, Afrika hingga Teluk Arab.

Karakter makanan Luso-Asia, menurut Fadly, adalah tingginya konsumsi daging. Kebiasaan memakan daging dan teknik mengolahnya itu menular  ke kawasan Asia. Adopsi teknik pengolahannya pun terjadi dengan proses modifikasi. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat