kievskiy.org

Krisis Politik Kian Panas, PBB Lobi Australia Agar Sanksi Panglima Militer Myanmar

Jenderal Militer Myanmar, Min Aung Hlaing./
Jenderal Militer Myanmar, Min Aung Hlaing./ /Reuters/Lynn Bo Bo/Pool Reuters/Lynn Bo Bo/Pool

PIKIRAN RAKYAT - Krisis politik yang melanda Myanmar hingga kini kian memanas.

Terbaru, pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tengah dalam pembicaraan langsung dengan pemerintah Australia tentang bagaimana memperluas sanksi terhadap rezim militer Myanmar, dan memperingatkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan tengah "dilakukan di depan mata kita,"

Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar Tom Andrews, mengatakan bahwa pemerintah harus menargetkan panglima tertinggi yang dia gambarkan sebagai "pemimpin geng" di mana target tersebut bertanggung jawab atas kekejaman massal, dan harus mengaitkan sanksi tambahan dengan yang dijatuhkan oleh negara-negara lain.

Pada hari Rabu, 14 April 2021 waktu setempat, pemerintah Australia berusaha meyakinkan lebih dari 3.300 warga negara Myanmar di negeri kangguru itu bahwa mereka tidak berencana untuk mengirimnya pulang ketika visa mereka kedaluwarsa, di tengah kekhawatiran tentang bahaya yang diperkirakan akan dihadapi oleh WN Myanmar setelah kudeta 1 Februari.

Baca Juga: AS Mengaku Tak Terkejut Penggunaan Senjata Kimia di Suriah

Baca Juga: Tiga Negara Eropa Nyatakan Prihatin Atas Pengayaan Uranium Iran

Pemerintah Australia telah mengutuk kudeta dan pembunuhan lebih dari 700 warga sipil, tetapi belum mengumumkan sanksi apa pun selain yang berlaku untuk lima tokoh militer yang telah masuk dalam daftar sejak 2018.

Kelompok hak asasi manusia mengkritik Australia lantaran tampak bertindak lebih lambat daripada beberapa sekutu dan mitra utamanya.

Dalam sebuah wawancara eksklusif, Andrews mengungkapkan bahwa dirinya telah menasihati pemerintah tentang perluasan sanksi dan telah menggarisbawahi perlunya mengkoordinasikan langkah-langkah tersebut dengan negara lain.

"Mereka telah membicarakan hal ini dengan saya, di mana saya berada dalam serangkaian diskusi dengan anggota pemerintah Australia," kata pelapor khusus yang berbasis di AS itu seperti dikutip oleh Pikiran-Rakyat.com dari The Guardian.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat