kievskiy.org

Sengketa Laut China Selatan Belum Usai, Pakar Bicara Pendekatan Diplomatik dan Posisi Indonesia

Formasi Angkatan Laut Tiongkok, termasuk kapal induk Liaoning (tengah), selama latihan militer di Laut China Selatan: Tiongkok kirim kapal perang untuk bergabung latihan di Laut China Selatan sebagai peringatan bagi Taiwan usai menyambut kunjungan AS.
Formasi Angkatan Laut Tiongkok, termasuk kapal induk Liaoning (tengah), selama latihan militer di Laut China Selatan: Tiongkok kirim kapal perang untuk bergabung latihan di Laut China Selatan sebagai peringatan bagi Taiwan usai menyambut kunjungan AS. /AFP/ South Korean Defence Ministry

PIKIRAN RAKYAT - Sengketa di Laut China Selatan seolah tak kunjung usai lantaran ketegangan yang masih terjadi hingga saat ini.

Dua negara yang paling lantang berseteru yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok sama-sama menunjukkan kemampuan militernya di Laut China Selatan.

Terkait sengketa Laut China Selatan yang masih terjadi, Pakar hukum laut internasional, Hasjim Djalal menilai dibandingkan pendekatan militer, pendekatan diplomatik justru lebih penting dan harus dikedepankan.

Baca Juga: Peringati HUT ke-75 Jabar, Ahmad Heryawan: Patut Diapresiasi karena Perkembangannya

"Menurut saya, pendekatan militer tidak direkomendasikan [...] misalnya dalam konflik Natuna, saya kira penting bagi kita untuk mengembangkan kapasitas pemanfaatan sumber daya laut Natuna," kata Hasjim pada sebuah diskusi daring, Rabu 19 Agustus 2020.

Terkait posisi Indonesia, Hasjim, yang juga pernah menjabat pimpinan Otoritas Dasar Laut Internasional menilai Indonesia harus menjadikan Natuna sebagai pusat kegiatan di kawasan Laut China Selatan.

Hal ini perlu dilakukan guna bisa mempertahankan hak ekonomi, teritori, dan kedaulatan Indonesia.

Baca Juga: Enggan Merasa Lemah saat Hadapi Kanker, Feby Febiola: Hanya Kasih Tuhan yang Buat Kita Mampu

"Caranya yakni tidak perlu melalui konflik. Kita bisa mengembangkan kemampuan ilmiah dan pengetahuan mengenai sumber daya yang menjadi milik kita, serta meningkatkan hubungan kerja sama dengan negara tetangga di kawasan," kata dia dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Antara.

Bagaimanapun, Hasjim juga tidak menyangkal bahwa Indonesia harus bersiap dengan kekuatan militer "jika konfrontasi berkembang bukan karena keinginan kita melainkan akibat situasi lainnya."

Sementara Evan Laksmana, peneliti bidang politik di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menyebut bahwa masalah keamanan dan kepemimpinan maritim masih sering muncul, misalnya penangkapan ikan ilegal dan pembajakan serta potensi konflik antarnegara ASEAN atau dengan China.

"Saya pikir menggunakan pendekatan secara diplomatis saja untuk menangani urusan wilayah maritim tidaklah cukup. Tentu saja komunikasi dan negosiasi diplomatik diperlukan, namun ketika menyangkut pengendalian wilayah maritim, kita harus menjalankan upaya lebih untuk meningkatkan kapabilitas keamanan," kata Evan.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat