kievskiy.org

Pendidikan Gratis di Jawa Barat: Antara Janji dan Realita

Ilustrasi pendidikan.
Ilustrasi pendidikan. /Pixabay/igorovsyannykov

PIKIRAN RAKYAT - Pendidikan gratis kerap menjadi janji manis yang disampaikan para calon kepala daerah saat kampanye. Namun, implementasinya sering kali menemui banyak kendala dan menghasilkan kebingungan di kalangan masyarakat.

Di Jawa Barat, misalnya, program pendidikan gratis yang dijanjikan tanpa perhitungan dan perencanaan matang akhirnya menjadi bumerang bagi pemerintah daerah. “Ketika berbicara tentang pendidikan gratis, penting untuk menjelaskan unsur-unsur yang dibiayai, seperti biaya operasional, investasi, dan personal,” ujar pengamat kebijakan pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Cecep Darmawan pada Senin 20 Mei 2024.

Cecep mengatakan bahwa pendidikan gratis seharusnya diukur dan disesuaikan dengan kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ketika seorang kepala daerah berjanji memberikan pendidikan gratis, masyarakat perlu mengetahui secara jelas apa yang dimaksud dengan "gratis" tersebut.

“Sayangnya itu tidak dirinci saat kampanye. Atau bisa saja, si calon kepala daerah tidak tahu besaran APBD dan kebutuhan untuk pendidikan. Sehingga ketika ia terpilih, karena sudah dijanjikan, dipaksakan dalam anggaran,” katanya.

Salah satu kesalahan yang terjadi adalah adanya persepsi bahwa pendidikan gratis berarti semua kebutuhan siswa, termasuk biaya transportasi, seragam, dan buku, akan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Padahal, yang dibiayai oleh pemerintah umumnya hanya mencakup operasional dan investasi. “Akibat dari kesalahpahaman ini, banyak orang tua yang mengeluh karena biaya-biaya lain masih harus mereka tanggung,” ucapnya.

Hingga saat ini, keluhan mengenai kualitas pendidikan yang belum meningkat mencapai lebih dari 20 persen. Standar biaya pendidikan, terutama terkait sarana dan prasarana, belum terpenuhi dengan baik. Kepala daerah dihadapkan pada tantangan besar untuk memenuhi kebutuhan ini, sementara janji pendidikan gratis tetap harus ditepati.

Dalam sistem pendidikan di Jawa Barat, pendidikan dasar dan menengah (SD dan SMP) menjadi tanggung jawab pemerintah kota dan kabupaten, dan sudah semestinya gratis. Namun, untuk pendidikan tingkat SMA, masih dimungkinkan adanya partisipasi masyarakat. Hal ini berarti, pungutan biaya masih dapat dilakukan selama tidak dilarang oleh kepala daerah dan BOPD (Bantuan Operasional Pendidikan Daerah) tidak mencukupi.

Di awal dilakukannya alih kelola pendidikan SMA dan SMK dari kota/kabupaten ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat, pihak sekolah masih diberi kewenangan untuk memungut. Karena dalam aturan dimungkinkan. Kemudian, adanya janji politik pendidikan gratis, Pemprov Jabar berusaha mewujudkannya. Iuran bulanan dihapuskan, yang kemudian disubsidi oleh Pemprov Jabar. Sempat juga diterapkan sistem kluster berkaitan dengan subsidi ke sekolah-sekolah, mengingat hampir semua kota/kabupaten menarik bantuan untuk SMA dan SMK yang berada di wilayahnya.

Dana BOS

Cecep menyebutkan tidak cukupnya alokasi dana dari pemerintah sering kali memaksa sekolah untuk mencari dana tambahan. Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), misalnya, hanya menyediakan dana minimal sekira Rp1,2 juta per tahun per siswa. Jumlah ini dianggap tidak cukup untuk mencapai mutu pendidikan yang diharapkan. Sekolah perlu mencari sumber dana lain, seperti CSR (Corporate Social Responsibility) atau kerja sama dengan pihak swasta, agar kualitas pendidikan tetap terjaga.

“Calon kepala daerah seharusnya lebih memahami alokasi dana pendidikan dan struktur biaya yang diperlukan. Janji pendidikan gratis yang disampaikan tanpa penjelasan detail hanya akan menimbulkan ketidakpuasan di kemudian hari. Pendidikan berkualitas seharusnya menjadi fokus utama, dengan subsidi pendidikan gratis yang tepat sasaran, terutama bagi masyarakat miskin,” katanya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat