kievskiy.org

Batal Nikah, Bolehkah Pria Meminta Kembali Seserahan? Ini Hukumnya dalam Islam

Ayu Ting Ting dan Muhammad Fardhana.
Ayu Ting Ting dan Muhammad Fardhana. //Instagram @ayutingting92 /Instagram @ayutingting92

PIKIRAN RAKYAT - Ketika sebuah pernikahan yang telah direncanakan dengan matang tiba-tiba batal, tidak hanya emosi yang terkena dampaknya, tetapi juga persoalan materi seperti seserahan.

Seserahan, atau hantaran, merupakan tradisi dalam pernikahan di Indonesia yang melibatkan pemberian barang dari pihak pria kepada pihak wanita.

Namun, bagaimana pandangan Islam mengenai pengembalian seserahan jika pernikahan batal?

Pandangan Hukum Islam

Dalam Islam, seserahan biasanya dianggap sebagai hadiah atau pemberian (hibah) yang diberikan sebelum akad nikah. Hukum mengenai pengembalian hibah ini dapat berbeda tergantung pada kondisi tertentu.

Menurut ulama Mazhab Hanafi, seserahan atau antaran yang dibawa pihak laki-laki saat lamaran dianggap sebagai hibah atau pemberian. Dalam pandangan mereka, hukum mengenai pengembalian hibah ini dijadikan dasar untuk menentukan apakah barang seserahan dapat diminta kembali atau tidak.

قال الحنفية: هدايا الخطبة هبة، وللواهب أن يرجع في هبته إلا إذا وجد مانع من موانع الرجوع بالهبة كهلاك الشيء أو استهلاكه. فإذا كان ما أهداه الخاطب موجوداً فله استرداده. وإذا كان قد هلك أو استهلك أو حدث فيه تغيير، كأن ضاع الخاتم، وأكل الطعام، وصنع القماش ثوباً، فلا يحق للخاطب استرداد بدله

Artinya, “Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa hadiah saat lamaran adalah hibah. Pihak yang memberikan hibah berhak menarik kembali barang hibahnya kecuali bila terdapat uzur yang menghalangi penarikan hibah kembali, yaitu kerusakan barang hibah atau habisnya barang hibah karena telah digunakan. Kalau barang hibah yang diberikan pihak pelamar masih ada, maka ia berhak memintanya kembali. Jika barang hibah itu sudah rusak, sudah habis dipakai, atau terjadi perubahan padanya, yaitu cincin hilang, makanan telah dimakan, kain sudah bentuk menjadi pakaian oleh pedagang kain, maka pihak pelamar tidak berhak meminta kembali dalam bentuk kompensasi,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1985 M/1405 H, juz 7, halaman 26).

Ulama Mazhab Maliki memiliki pandangan yang cukup spesifik mengenai pengembalian barang seserahan dalam kasus pembatalan perkawinan. Mereka memandang hal ini dari sisi siapa yang menginisiasi pembatalan perkawinan tersebut:

  1. Jika Inisiatif Pembatalan Datang dari Pihak Perempuan

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat