kievskiy.org

Pesantren Masa Depan: Mempertahankan Eksistensi Pesantren di Tengah Gelombang Era Disrupsi

Ridwan Kamil saat meninjau protokol kesehatan di salah satu pesantren di Jawa Barat.*
Ridwan Kamil saat meninjau protokol kesehatan di salah satu pesantren di Jawa Barat.* /Dok. HUMAS JABAR Dok. HUMAS JABAR

PIKIRAN RAKYAT - Disadari atau tidak, peradaban manusia telah berangsur mengalami perubahan. Realita kehidupan manusia telah memasuki era revolusi teknologi yang secara fundamental telah mengubah cara hidup manusia di semua  dimensi kehidupan. Kondisi ini menggiring kita, khususnya pesantren dan santri agar segera melakukan adaptasi dalam menghadapi era revolusi industri yang penuh dengan tantangan disrupsi.

Sehingga pesantren—sebagai salah satu lembaga pendidikan di Indonesia—yang di dalamnya terdapat santri untuk menuntut ilmu, tidak boleh apatis terhadap perubahan yang sedang terjadi sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini sebuah keniscayaan (sunnatullah) dan bukan monopoli kelompok tertentu. Sinergitas tradisi pesantren dengan era disrupsi—sebagai ciri modernitas—juga bukan hal yang utopis, mengingat keduanya merupakan respon atas realitas. Seyogyanya, pembaruan dalam sistem, tradisi, dan kurikulum pesantren tetaplah mengedepankan spiritualitas (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). 

Dalam menghadapi perkembangan zaman semakin pesat seperti ini. Di samping pesantren dituntut melakukan perubahan, seorang santri juga haruslah bisa beradaptasi dan berselancar dengan perubahan. Santri dituntut memiliki intelektualitas yang luas, yang dapat mengintegrasikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Pada pandangan Septiana (2019) seorang santri tidaklah cukup menekuni kajian keagamaan yang sangat kental seperti kajian kitab kuning. Seorang santri juga harus mengimbanginya dengan kemampuan intelektual. 

Baca Juga: Vladimir Putin Soroti Hubungan Unik yang Terjalin Antara Rusia dan Israel

Era Disrupsi dan Perubahan Sikap

Terma disrupsi secara etimologi adalah sebuah era terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran yang secara fundamental mengubah semua sistem, tatanan, dan landscape yang ada ke cara-cara baru. Akibatnya ‘pemain’ yang masih menggunakan cara dan sistem lama akan kalah bersaing.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disrupsi bermakna hal tercerabut dari akarnya (kbbi.co.id). Eriyanto kemudian mendeskripsikan, istilah disrupsi ini sebenarnya sudah ada sejak lama, namun istilah ini kembali populer setelah Clayton M. Chirtensen, yakni seorang guru besar di Havard Business School menyebut istilah disrupsi dalam bukunya ‘The Innovator Dilemma‘. (journal.ui.ac.id). 

Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali, salah satu tokoh yang mempopulerkannya melalu buku Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban (2017) Rhenald menyebut disrupsi akan berlangsung terus-menerus dan lama. Saat ini hampir semua industri tengah bertarung menghadapi lawan-lawan baru yang masuk tanpa mengikuti pola yang dikenal masyarakat selama ini. Lawan-lawan baru itu langsung masuk ke rumah-rumah konsumen, dari pintu-pintu, secara online, melalui smartphone. Rhenald menyebut, bagi masyarakat yang merayakan perubahan, disrupsi adalah masa depan. Namun, bagi mereka yang sudah nyaman dengan keadaan sekarang dan takut dengan perubahan, mereka akan berpikir bahwa ini adalah awal kepunahan.  

Baca Juga: Kenapa TVRI Tak Siarkan Semua Pertandingan Indonesia di Denmark Open? Berikut Penjelasannya

Di era disrupsi ini, masyarakat menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata, beralih ke dunia maya, terutama media sosial. Banyak pihak yang menjadi korban era disrupsi, di antaranya adalah transportasi konvensional, mall, dan media cetak.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat