kievskiy.org

Kutukan Generasi Ketiga, Mitos Soal Cucu yang Meruntuhkan Bisnis Keluarga

Ilustrasi kutukan generasi ketiga dalam bisnis keluarga.
Ilustrasi kutukan generasi ketiga dalam bisnis keluarga. /Pikiran Rakyat/Yusuf Wijanarko

PIKIRAN RAKYAT - Sejumlah survei, termasuk yang dilakukan The Economist Intelligence dan Harvard Business School menyebut, 95 persen bisnis keluarga tidak sanggup bertahan melewati generasi ketiga. Dengan kata lain, bisnis hanya berjalan baik sampai sang cucu pendiri dewasa.

Pada praktiknya, bisnis keluarga banyak yang dijalankan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Awalnya, sang pendiri—yang merupakan generasi pertama—mengendalikan bisnis tersebut. Waktu berlalu dan ketika saatnya tiba, bisnis diwariskan kepada anaknya, lalu cucunya, dan seterusnya. Lantas sampai generasi berapakah bisnis itu bisa berjalan baik?

Survei para pakar ekonomi di paragraf pertama agaknya menegaskan mitos kutukan yang selama ini menyebut bahwa bisnis warisan keluarga hanya bertahan sampai generasi ketiga.

Mitos itu begitu populer di dunia. Bahkan sejumlah bangsa mengabadikannya dalam pepatah. Pepatah lama Inggris menyebut, “clogs to clogs is only three generations (bakiak hanya bertahan tiga generasi).”

Pepatah itu menerangkan bahwa daya upaya yang dibutuhkan untuk mengangkat status sosial dan ekonomi seseorang dari kemiskinan acap terhenti di generasi ketiga. Sehingga, keberhasilan tidak dapat dipertahankan.

Orang Skotlandia berkata, “The father buys, the son builds, the grandchild sells, and his son begs (Ayah membeli, anak membangun, cucu menjual, cicit mengemis).”

Di Italia, ada pepatah, “Dalle stalle alle stelle... e ritorno (Dari miskin menjadi kaya… dan kembali lagi).”

Sejatinya apa yang coba disampaikan dalam pesan tersebut adalah suatu siklus yang umum. Generasi pertama mendirikan bisnis. Mereka mengasah keahlian khusus, banyak berkorban, dan bekerja keras dnegan harapan anaknya tak perlu bernasib sama.

Generasi kedua menyambungnya dengan memperluas bisnis. Mereka cenderung menjadi dermawan dan terbiasa dengan gaya hidup yang sedemikian mapan. Mereka menyaksikan bagaimana orangtuanya berjuang sehingga terpupuk motivasi—untuk setidaknya—pempertahankan kelangsungan bisnis.

Sementara generasi ketiga—biasanya, meski tidak selalu—tak mewarisi keterampilan yang dibutuhkan untuk meneruskan bisnis. Mereka lahir dengan sendok perak di tangan. Mereka yang tidak menyaksikan perjuangan kakek dan neneknya lantas menggerogoti kekayaan. Pada akhirnya, generasi keempat kembali ke titik awal.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat