kievskiy.org

Krisis Pangan, Antara Sagu dan Sangu

Ulat dari batang pohon sagu tua di Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Sabtu 8 Oktober 2022.
Ulat dari batang pohon sagu tua di Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Sabtu 8 Oktober 2022. /Antara/Gusti Tanati

PIKIRAN RAKYAT - Secara umum, kondisi ketahanan pangan Indonesia masih tergolong baik. Namun, tanpa disadari, terjadi penurunan ketahanan pangan sejak pandemi Covid-19.

Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB University, Prof. Drajat Martianto menyebut, Indonesia sedang menghadapi kelaparan tersembunyi yang, meski tak terlihat gejalanya, menjadi ancaman yang nyata.

Posisi Indonesia di Global Food Security Index (GFSI) juga mengalami penurunan setelah pandemi Covid-19.

Skor GFSI Indonesia tercatat 59,2 poin pada 2021, menurun 3,58 persen dibandingkan 2020 yang sebesar 61,4 poin.

Posisi Indonesia pun turun ke peringkat 65. Tantangan terbesar bangsa Indonesia saat ini, kata dia, bukan lagi kurang energi dan protein, tetapi kelaparan tersembunyi, berupa defisiensi zat gizi mikro, khususnya defisiensi zat besi, iodium, asam folat, seng, vitamin A, dan zat gizi mikro lainnya.

Drajad menjelaskan, penelitian menunjukkan, ada 1 persen rakyat Indonesia yang tidak mampu mengakses pangan makro yang mengandung karbohidrat. Namun, persoalannya, hampir 50 persen penduduk Indonesia kekurangan sayuran, buah-buahan, pangan hewani, dan kacang-kacangan.

Penelitian juga menunjukkan, 1 dari 2 penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan hewani, buah, dan sayuran yang mengandung zat gizi mikro. Mereka inilah yang disebut mengalami kelaparan tersembunyi.

Dampak kelaparan tersembunyi bisa sangat besar. Pasalnya, zat gizi mikro telah terbukti sebagai unsur gizi penting untuk peningkatan produktivitas kerja, kecerdasan, dan imunitas.

Ancaman kelaparan tersembunyi juga diperparah kian mahalnya harga bahan pangan. Tak hanya di Indonesia, tetapi di dunia.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat