kievskiy.org

Regulasi Tak Pro Buruh Melegalkan Outsourcing Seumur Hidup, Kaum Pekerja Pun Sulit Sejahtera

Ilustrasi Hari Buruh. Regulasi belum berpihak kepada pekerja.
Ilustrasi Hari Buruh. Regulasi belum berpihak kepada pekerja. /Freepik Freepik

PIKIRAN RAKYAT - Pemimpin bangsa ke depan harus menjadikan persoalan kesejahteraan pekerja sebagai prioritas. Pekerja harus mendapat dukungan untuk hidup layak dan sejahtera. Pastikan regulasi yang dibuat berpihak juga pada pekerja. Jangan hanya memikirkan keuntungan pengusaha atau investor.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, peringatan Hari Buruh di Indonesia setiap 1 Mei, selalu diwarni aksi unjuk rasa. Tidak hanya di Ibukota Jakarta, tetapi aksi unjuk rasa juga dilakukan hampir di seluruh tanah air. Momen tersebut dimanfaatkan untuk memperjuangkan aspirasi-aspirasi pekerja dan menyuarakan kritikan-kritikan terhadap pemerintah, terutama terkait masalah ketenagakerjaan dan kesejahteraan buruh.


Begitu pula pada peringatan Hari Buruh pada Senin (1/5/2023) kemarin, para buruh yang tergabung dalam berbagai serikat pekerja menuntut sejumlah hal, mulai dari dicabutnya Omnibus Law UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (Ciptaker); dicabutnya parliamentary threshold 4% dan presidential threshold 20% karena membahayakan demokrasi; pengesahkan RUU DPR dan perlindungan pekerja rumah tangga; tolak RUU Kesehatan; reformasi agraria dan kedaulatan pangan, tolak bank tanah, tolak impor beras, kedelai, dan lain-lain; pilih capres yang pro buruh dan kelas pekerja; hingga penghapusan sistem outsourcing dan tolak upah murah.

Kalangan buruh menilai, tindakan pemerintah dan DPR yang mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja yang telah disetujui menjadi Undang-Undang (UU) merupakan sebuah kesewenang-wenangan. Pasalnya, sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan MK Nomor 91 Tahun 2020 pada 25 November 2021 yang menyatakan pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Beleid yang mengubah banyak undang-undang dalam sekali waktu atau disebut omnibus law itu disebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Perbaikan diperkenankan dilakukan dalam kurun waktu dua tahun sejak putusan diucapkan.

Namun yang membuat buruh kecewa, UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK itu malah disiasati pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Cipta Kerja. Perppu Cipta Kerja ini padahal telah ditolak oleh berbagai kalangan.
 
Banyak kalangan menilai, UU Cipta Kerja hanya pro pengusaha. Pasalnya, terdapat sejumlah poin yang merugikan pekerja. Salah satunya, soal sistem kerja kotnrak. Dalam UU Cipta Kerja, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak dibatasi periodenya. Dengan begitu, tidak ada jaminan bagi buruh untuk diangkat sebagai karyawan tetap. UU Cipta Kerja juga tidak mengatur kriteria pekerjaan yang dapat diperkerjakan secara alih daya atau outsourcing. Akibatnya, praktik outsourcing diprediksi makin meluas.
 

Berjuang

Oleh karena itu, kalangan buruh  pun terus memperjuangkan agar UU Nomor 6 Tahun 2023 agar dicabut. Seperti dikemukakan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mereka akan terus menuntut agar UU tersebut dicabut. Pasalnya, terdapat sejumlah persoalan dalam UU Cipta Kerja tersebut. Salah satunya yakni minimum upah yang disahkan secara sepihak. Di mana upah minimum tidak dirundingkan dengan serikat buruh, dan adanya ketentuan mengenai indeks tertentu yang membuat kenaikan upah lebih rendah. Lalu, mengenai outsourcing seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan. Menurut dia, itu merupakan bentuk perbudakan modern. Permasalahan lainnya, sistem kontrak buruh. Dia menilai sistem kontrak tersebut merugikan pihak pekerja yang dilakukan secara terus-menerus tanpa periode. Kemudian pesangon rendah serta mudahnya pemutusan hubungan herja (PHK) terhadap para pekerja.
 
Selain itu, buruh mempersoalkan tentang hilangnya hak cuti para pekerja, di antaranya cuti bagi buruh perempuan yang tengah haid dan melahirkan serta tidak adanya kepastian upah. Sementara itu, jam kerja buruh sangat menguras tenaga.
Tuntutan-tuntutan buruh ini seyogianya tidak diabaikan oleh pemerintah. Momentum peringatan Hari Buruh diharapkan dapat dijadikan sebagai ajang evaluasi ketenagakerjaan nasional. Pemerintah perlu memikirkan kesejahteraan kaum pekerja.

Menjelang tahun politik pada 2024, sosok-sosok calon pemimpin yang telah bermunculan pun harus diingatkan soal masalah ketenagakerjaan. Masalah kesejahteraan buruh dan para pekerja ini diharpakan  menjadi salah satu fokus mereka ke depan.
Pemimpin bangsa ke depan harus menjadikan persoalan kesejahteraan pekerja  sebagai prioritas. Pekerja harus mendapat dukungan untuk hidup layak dan sejahtera. Pastikan regulasi yang dibuat berpihak juga pada pekerja dan jangan hanya memikirkan keuntungan pengusaha atau investor.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat