kievskiy.org

Kualitas vs Kedekatan, Dilema PPDB Zonasi dalam Pemerataan Pendidikan Indonesia

Ilustrasi siswa SD. Polemik PPDB Zonasi dalam pemerataan pendidikan Indonesia.
Ilustrasi siswa SD. Polemik PPDB Zonasi dalam pemerataan pendidikan Indonesia. /Antara/Novrian Arbi

PIKIRAN RAKYAT - Pada laman pertama Harian Pikiran Rakyat ditampilkan laporan tentang “Pintu Darurat setelah PPDB”. Selain itu, pada bagian Tajuk Rencana diulas tentang beasiswa dan pentingnya pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Isu penting yang ditampilkan adalah solusi apa yang bisa ditawarkan utamanya bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu yang tidak tertampung di sekolah-sekolah negeri. Berbagai tawaran ini tentu dinantikan oleh mereka yang marjinal, sebab memberi sedikit angin segar untuk tetap bersekolah tanpa terbebani biaya yang semakin mahal.

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) adalah kosakata yang selalu mewarnai diskursus publik di masa-masa akhir tahun ajaran baru dalam beberapa tahun terakhir. Jika membuka media sosial, akun-akun sekolah bersemangat mempromosikan keunggulan masing-masing sekolah, agar dilirik masyarakat dalam proses PPDB. Jembrengan prestasi baik akademik ataupun prestasi lainnya ditampilkan. Promosi memang hal yang dianggap wajar di era digital saat ini, apalagi jika posisi sekolah merupakan sekolah-sekolah swasta.

Khusus keluarga yang anak-anaknya berminat masuk ke sekolah negeri, tips pentingnya adalah: Anda harus rajin membaca aturan terbaru tentang PPDB dan tentu saja memantau website PPDB di masing-masing wilayahnya. Jika tidak update niscaya ketinggalan untuk ikut melaut di kapal sekolah negeri. Ini sangat menantang bagi keluarga miskin yang akses terhadap informasi terbatas. Ada perang informasi di sini, dan jika anak-anak keluarga miskin tidak memiliki dukungan kuat dari sekolah, atau masyarakat niscaya mereka kalah start sejak awal. Informasi saja tak punya, bagaimana tahapan selanjutnya dapat ditempuh.

Bagaimana pun pemerintah menyampaikan sekolah negeri atau sekolah swasta sama saja, tetap masuk ke sekolah negeri masih menjadi impian anak-anak bangsa. Apalagi harga sekolah swasta, terutama yang favorit, sangatlah mahal. Perlu merogoh kocek lebih dalam untuk masuk ke sekolah swasta favorit. Sekolah negeri favorit selalu dianggap lebih teruji mendidik pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta didik. Secara prestise, untuk sebagian kalangan masuk di sekolah negeri favorit masih menjadi idaman, apalagi sekolah-sekolah yang memiliki prestasi akademik dan non akademik cemerlang.

Problemnya, sekolah-sekolah yang dianggap favorit dan berkualitas belum merata. Orangtua lebih percaya kepada pengalaman sekolah-sekolah negeri favorit yang biasanya sudah eksis lebih lama. Atau bisa jadi orangtua tersebut atau keluarga besarnya merupakan lulusan dari sekolah tersebut. Jadi orangtua sudah hafal bibit, bobot, bebet dari sekolah yang dibidik.

Polemik

Di era PPDB Zonasi, salah satu ‘keberuntungan’ sekaligus privilese adalah ketika memiliki rumah yang dekat dengan sekolah-sekolah favorit, sebab porsi jarak rumah dengan sekolah memiliki persentase yang besar dalam sistem zonasi. Konteks ‘dekat’ dengan sekolah pun sering kali menjadi bahan perdebatan, sebab ada anak-anak yang rumahnya dekat, tapi ketika mendaftar dianggap kurang ‘dekat’ dibanding pendaftar lain.

Perdebatan jarak koordinat rumah ke sekolah sering kali menjadi hal yang hadir sebab dianggap tidak sesuai dengan kenyataan. Migrasi kepindahan peserta didik ke lokasi-lokasi yang dekat sekolah tak terhindarkan dan menjadi salah satu strategi efektif dan praktis yang dapat dilakukan demi meraih sekolah favorit. Dianggap legal, sebab sudah mengikuti aturan yang berlaku dan tidak ujug-ujug pindah. Proses kepindahan sudah didesain secara presisi sebab orangtua sudah lebih aware soal jarak titik koordinat sekolah ke rumah. Belum lagi cerita-cerita ‘pinggir jurang’ terkait PPDB. Titipan orang kuat di daerah, manipulasi data, pemalsuan dokumen, dan praktik kecurangan lain yang tentu saja memberi warna keruh bagi wajah pendidikan Indonesia. Paradoks selalu terjadi di ruang pendidikan yang katanya berupaya memberi pencerdasan dan pencerahan itu. Namun, yang hadir justru menghadirkan sisi kelam pendidikan, karena upaya menghalalkan berbagai cara yang tak elok justru tampak di ruang pendidikan.

Polemik PPDB yang hadir menjadi bagian dari kompleksitas pendidikan di negeri ini. Akar masalahnya ada pada ketidakmerataan pendidikan yang merupakan isu substansi yang hadir dari zaman ke zaman mewarnai pendidikan di negeri ini. Dalam prosesnya kelompok sosial ekonomi yang tinggi akan selalu menang sebab memiliki dukungan politik yang kuat. Aduan demi aduan tentang ketidakadilan dan proses transparansi PPDB Zonasi seolah menjadi menu tahunan yang dihidangkan ke meja khalayak. Namun, aduan tersebut seolah meluap dengan mudah saja.

Untungnya ada kekuatan baru di era teknologi saat ini, kekuatan ‘viral’. Adagium no viral no justice semakin mewarnai ruang publik hari ini. Ibarat pemain tanpa bayangan, risiko viral lebih mengancam ketimbang aturan hukum formal yang sering dengan mudah dimainkan oleh pihak yang kuat. Viral mengandung tekanan sosial yang kokoh dari masyarakat yang terzalimi oleh sistem yang tak berpihak pada wong cilik. Kekuatan viral dapat membantu kelompok marjinal yang terpinggirkan dan kecil di mata para penguasa yang punya dukungan kuat untuk memasukan anak-anaknya ke sekolah favorit. Namun, tentu saja kondisi tersebut tak menyelesaikan persoalan substantif pendidikan terkait ketidakmerataan kualitas dan akses pendidikan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat