kievskiy.org

Ketika Kebebasan Berbicara Dibungkam Rezim Otoriter, Ancaman Serius bagi Demokrasi

Ilustrasi kebebasan berbicara.
Ilustrasi kebebasan berbicara. /PIXABAY

PIKIRAN RAKYAT - Seorang konten kreator kreatif yang bernama Udin Kashiwagi, belum lama ini memberikan pernyataan secara publik bahwa dia akan berhenti untuk membuat konten-konten komedi politik. Bahkan konten-konten komedi politik yang telah dipublikasikan di berbagai platform media sosial miliknya kini telah hilang karena telah dihapus secara permanen.

Sebelumnya Udin kerap kali membuat video komedi-komedi satir yang berisi kritik halus terhadap kebijakan-kebijakan publik. Udin kerap kali menarasikan kritik itu dengan sangat piawai, cerdas dan menggelikan.

Dalam pernyataan di akun TikTok pribadinya, Udin Kashiwagi menambahkan bahwa bahwa dia berlepas tangan dan tidak bertanggung jawab terhadap konten-konten dia yang dipublikasikan ulang oleh akun-akun lain. Tentunya, kita menghormati dan memaklumi langkah yang diambil oleh sang konten kreator tersebut, terlepas kita tidak tahu apa yang melatarbelakangi keputusan tersebut.

Menanggapi pengumuman yang dibuat Udin, banyak netizen berpikir tentang apa penyebab sang konten kreator berhenti memproduksi konten-kontennya. Apakah karena mendapatkan tekanan dari pihak-pihak yang merasa tersinggung? Jika memang ini yang terjadi, maka tidak heran jika banyak netizen yang berpikir bahwa kebebasan berbicara dan berekspresi telah terancam. Bahkan tidak sedikit yang bilang jika Orde Baru jilid kedua bisa saja kembali terjadi.

Sebagaimana diketahui bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat dibatasi di zaman kepemimpinan Soeharto. Bahkan pihak oposisi dilemahkan sedemikian rupa dengan kebijakan-kebijakan yang tidak pro demokrasi. Padahal, kebebasan berbicara adalah salah satu hak fundamental yang dijamin dalam banyak konstitusi di seluruh dunia. Namun, ironisnya, banyak individu dan kelompok menghadapi ancaman serius terhadap hak ini, di mana suara mereka dibungkam secara paksa oleh pihak yang memiliki kuasa. Fenomena ini tidak hanya mengancam demokrasi tetapi juga menghambat perkembangan masyarakat yang inklusif dan progresif.

Pemerintah otoriter sering menggunakan kekuasaan mereka untuk menindas kebebasan berbicara. Mereka membatasi akses informasi, menekan media independen, dan memenjarakan atau mengancam aktivis hak asasi manusia serta jurnalis yang berani menyoroti ketidakadilan atau korupsi yang terjadi di lingkar kekuasaan mereka. Contohnya, China dengan firewall internetnya dan Iran yang sering menangkap jurnalis yang kritis terhadap rezim. Sebenarnya tidak perlu jauh-jauh mencari contoh, di Indonesia pernah mengalami hal yang sama di zaman kepemimpinan Soekarno dan Soeharto. Hal itu juga terjadi di beberapa kepemimpinan presiden di era Reformasi, meski memang tidak secara terang-terangan dilakukan. Mereka menekan beberapa pihak yang dianggap sebagai ancaman dengan cara yang amat halus.

Tidak hanya pemerintah yang menjadi ancaman terhadap kebebasan berbicara. Kelompok ekstremis, baik itu ideologi politik atau agama, juga sering menggunakan kekerasan atau ancaman untuk membungkam suara yang berbeda pendapat. Misalnya, kelompok-kelompok ekstremis di beberapa negara menggunakan intimidasi dan serangan untuk menekan kebebasan berpendapat yang kritis terhadap pandangan mereka dengan memanipulasi dalil-dalil agama. Contohnya, Taliban yang di era kepemimpinan pertamanya pernah menerapkan kebijakan yang melanggar hak-hak pendidikan terhadap perempuan dengan menafsirkan dalil-dalil agama sesuai dengan cara pandang mereka yang sempit.

Dampak

Pembungkaman kebebasan berbicara memiliki dampak yang luas dan serius terhadap demokrasi dan masyarakat. Tanpa akses informasi yang bebas dan diskusi publik yang terbuka, warga negara kesulitan untuk menyaring dan memilah terinformasi yang beredar. Arus Informasi hanya dikuasai oleh pihak yang memiliki kepentingan karena suara-suara yang berseberangan dengan pihak berkuasa sengaja dibungkam dan dimatikan. Masyarakat juga tidak mampu dan tidak bisa terlibat dalam proses politik yang demokratis karena sistem informasi satu arah dan tidak ada pembanding yang adil. Hal ini bisa menyebabkan peningkatan korupsi, ketidakadilan sosial, dan ketidaksetaraan yang lebih besar. Bahkan sering kali pelanggaran-pelanggaran HAM dibiarkan begitu saja. Pelaku kejahatan yang memiliki uang dan kuasa pada akhirnya melenggang.

Dibutuhkan komitmen banyak pihak untuk memulihkan kebebasan berbicara secara global. Kebebasan berbicara dan berpendapat tidak hanya diakui dan dilindungi secara hukum, tapi juga dilaksanakan dan dihormati secara praktis. Negara-negara demokratis dan masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk melindungi jurnalis, aktivis, dan individu yang terancam karena berbicara secara terbuka di depan khalayak ramai. Entah berbicara secara langsung atau lewat ragam media digital. (Husni Mubarok - Pegiat Media Sosial)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat