kievskiy.org

Dunia AI Melenting ke Atas Pascapandemi, Bantu Kehidupan Manusia tanpa Disadari

Ilustrasi AI.
Ilustrasi AI. /Pixabay/Geralt

PIKIRAN RAKYAT - Dalam buku Filsafat Teknologi oleh Francis Lim terbitan tahun 2008, mengisyaratkan bahwa Teknologi mendahului sains. Dalam tulisan ini akan membandingkan pernyataan tersebut dengan realita masa kini dan posisi dari sains dan teknologi dalam dunia digital khususnya Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan. Uraian terhadap pernyataan Francis Lim dalam buku tersebut berakar pada premis-premis filsafat:

  1. Manusia tidak dapat hidup tanpa teknologi
  2. Manusia memproduksi dan mengkonsumsi teknologi
  3. Manusia secara inheren teknologis
  4. Manusia mengalami teknologi dalam bentuk alat

Daftar premis di atas memengaruhi cara bertindak, persepsi dan adaptasi manusia terhadap alam melalui alat. Teknologi disederhanakan dalam bentuk alat, sedangkan sains disederhananakan dalam bentuk pengetahuan. “Teknologi mendahului sains” dalam kata lain alat mendahului pengetahuan menurut Francis Lim yang sepakat dengan Martin Heidegger seorang filsuf kenamaan Jerman yang berkontribusi dalam kajian fenomenologi, hermeneutik dan eksistensialisme.

Alat mendahului pengetahuan adalah sudut pandang yang agak ganjil menurut saya yang materialistis. Memang benar adanya dalam pendekatan idealis melihat teknologi yang tumbuh dari sains, akan tetapi dalam pendekatan materialistis justru kebalikannya teknologi mendorong sains untuk maju kedepan. Terlebih pada teknologi-teknologi mutakhir, di mana secara teoritis bangunan teknologi terbentuk, contohnya pada pengembangan Kecerdasan Buatan, di mana secara konsep teori sains sudah ada jauh sebelum AI tersebut dibuat. Alih-alih pemahaman tentang siapa yang duluan, bijaknya kita melihat sains dan teknologi di masa kini berjalan bersamaan.

Daya lenting

Hubert L. Dreyfus seorang idealis pengkaji AI atau Artificial Intelligence merujuk bahwasanya teknologi adalah suatu keharusan dari perwujudan sains, karena Dreyfus menyatakan bahwa komputer tidak memiliki tubuh yang manusiawi, karena itu tidak akan memiliki pemikiran yang manusiawi.

Pernyataan Dreyfus di tahun 1972 ini perlu direvisi ulang, dengan metodologi sains dan percepatan teknologi pasca IoT (Internet of Things), kecerdasan buatan melenting dengan dikenalkannya beragam bahasa program baru, cloud server dan machine learning. AI semakin menyerupai manusia. Manusia mampu dicerminkan lewat AI, contohnya pada algoritma yang dikembangkan oleh medsos, data pengguna tidak lagi disarikan menjadi komputasi data besar yang asing, tapi data yang begitu presisi sebagai cerminan diri dalam bentuk algoritma, sebuah fenomena yang kita sebut sebagai Echo Chamber.

Teknologi AI hadir sebagai alat yang dikembangkan dalam dunia digital saat ini, untuk membantu manusia memetakan dunia digital luas yang terus menerus berkembang ke semua arah. Stigma tentang AI yang menyeramkan memang perlu dikupas lebih lanjut dibawah ini.

AI yang 'menghilang'

Dalam penggunaan AI pada masa kini, masyarakat cenderung mengalami ketakutan saat berbicara hal tersebut, ada jarak yang dibentuk dengan AI, kita melihat AI sebagai sosok yang menakutkan dan sumber malapetaka di masa depan.

Merujuk ke Wittgenstein, Polanyi dan Marleau-Ponty posisi AI saat ini adalah alat bantu manusia yang 'menghilang' atau mundur ke latar belakang. Istilah ini dirujuk pada tongkat pada orang buta, yang membantunya merasakan dunia dan lingkungannya.

Tongkat tersebut adalah perpanjangan tubuh dari sang pengguna. Dalam aplikasinya tongkat tersebut seakan 'menghilang' yang ada hanyalah hasil dari persepsi tongkat tersebut.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat