kievskiy.org

Publik Tunggu Putusan MK dan MA Terkait Uji Materi Keterwakilan Perempuan Minimal 30 Persen di Parlemen

Ilustrasi. Perempuan dalam politik
Ilustrasi. Perempuan dalam politik /Freepik

JIKA menilik perjalanan sejarah kepemiluan di Tanah Air, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) selalu berpihak pada keterwakilan perempuan minimal 30 persen dari total anggota legislatif di semua tingkatan, baik DPR, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota.
Pada putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008, misalnya, hakim konstitusi menolak permohonan pemohon terkait dengan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Pasal 55 ini menyebutkan bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon disusun berdasarkan nomor urut. Ayat berikutnya menegaskan setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan bakal calon.

Perempuan bakal calon anggota legislatif yang telah diafirmasi hak politiknya oleh UUD Tahun 1945 dan putusan MK tersebut, ternyata belum mampu mencapai minimal 30 persen dari total anggota parlemen. Kendati demikian, pada Pemilu Legislatif 2009 lalu terjadi kenaikan cukup signifikan menjadi 18,3 persen (103 kursi) dari total 560 kursi.

Sebelumnya, dalam Pemilu Legislatif 2004, persentase keterwakilan perempuan mencapai 12 persen (66 kursi) dari total 550 kursi. Persentase keterwakilan perempuan tergolong rendah ketika Pemilu 2004 menerapkan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem daftar calon terbuka.

Sebelum Pemilu 2014, MK melalui putusannya Nomor 20/PUU-XI/2013 mengubah penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD selengkapnya menjadi, "Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya."

Setelah sejumlah putusan MK, kali ini giliran Mahkamah Agung (MA) yang akan menguji Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.

Publik pun menanti putusan hakim agung perihal permohonan uji materi oleh lima pemohon (Perludem, Koalisi Perempuan Indonesia, Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, dan Wahidah Suaib). Dilansir Antara, mereka mengajukan uji materi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 ke MA pada tanggal 5 Juni 2023 lalu.

Jika merujuk Pasal 76 ayat (4) UU No. 7/2017, Mahkamah Agung memutus penyelesaian pengujian PKPU paling lama 30 hari kerja sejak permohonan diterima oleh MA. Setidaknya publik akan mengetahui putusan MA ini medio Juli 2023.

Tahapan Pemilu 2024 yang saat masih berlangsung adalah verifikasi administrasi dokumen persyaratan bakal calon, 15 Mei hingga 23 Juni 2023. Setelah kegiatan ini selesai, pengajuan perbaikan dokumen persyaratan bakal calon, 26 Juni hingga 9 Juli 2023. Selanjutnya, verifikasi administrasi perbaikan dokumen persyaratan bakal calon, 10 Juli hingga 6 Agustus 2023.

Adapun yang diujimaterikan soal ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU No. 10/2023 terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 245 terhadap UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Selain itu, terhadap UU No. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat