kievskiy.org

Deklarasi Jabar Anteng Harusnya Diarahkan untuk Pejabat, Bukan untuk Masyarakat

Pemprov Deklarasi Jabar Anteng di Gedung Merdeka Sabtu 18 November 2023.
Pemprov Deklarasi Jabar Anteng di Gedung Merdeka Sabtu 18 November 2023. /Dok. Adpim Jabar

PIKIRAN RAKYAT - Pemerintah Jawa Barat serta tokoh masyarakat setempat baru-baru ini mendeklarasikan apa yang disebut “Jabar Anteng”, sebagaimana diberitakan koran Pikiran Rakyat edisi 20 November 2023. Kata si empunya berita, deklarasi itu dimaksudkan untuk “menciptakan Jabar kondusif selama proses Pemilu 2024”. Katanya pula, istilah anteng di situ merupakan akronim dari “aman, netral, tenang”.

Gara-gara membaca berita itu, saya jadi tidak anteng. Apalagi beberapa nama yang disebut-sebut dalam berita saya kenal baik bahkan saya hormati. Terpaksa kegiatan matuh harus ditinggalkan sejenak. Kamus-kamus mesti dibuka-buka lagi. Musim pemilu adalah saat berseliwerannya banyak jargon. Orang mesti cermat menyiasatinya biar tidak dikuasai jargon.

Pasti tidak sembarangan jika akronim yang dipilih adalah anteng. Istilah yang satu ini dikenal oleh masyarakat luas baik penutur bahasa Sunda maupun penutur bahasa Jawa. Malahan, sudah lama istilah itu terserap ke dalam bahasa Indonesia. Dalam ketiga bahasa tersebut, istilah itu menekankan tabiat yang “tenang”, “tidak banyak tingkah”, atau “senang tinggal di rumah”.

Perlu cepat-cepat ditambahkan bahwa kata "anteng" pada dasarnya suka dipakai untuk melukiskan tabiat atau perilaku bocah. Anak yang anteng berarti tidak rewel. Biar anak jadi anteng, si Ibu harus mau menyusuinya. Biarkan anak-anak anteng bermain di halaman. Kalau direcoki, mereka bisa mengamuk.

Mungkin bukan kebetulan pula bahwa jargon anteng, dengan nada yang menyiratkan nasihat atau imbauan, baru-baru ini meluncur dari kalangan pembesar semisal pejabat gubernur, kepala polisi, dan komandan tentara. Sangat boleh jadi, di tingkat bawah sadar, para pembesar cenderung melihat diri mereka sebagai abah dan ambu gupernemen, ayah dan ibu pemerintah.

Dalam budaya politik yang, rupa-rupanya, masih paternalistis, masyarakat luas cenderung dianggap sebagai anak-anak. Sampai sekarang orang yang jadi pemimpin suka dipanggil Bapak kalau dia pria atau Ibu kalau dia perempuan. Di panggung politik sapaan Bung sudah lama menghilang, panggilan Bro dan Sis tidak berumur panjang.

Bapak dan Ibu terus bertahan, tak lapuk dimakan waktu. Ketika para pembesar menyongsong pemilu dengan meminta agar masyarakat anteng, mereka terdengar seperti orangtua yang meminta anak-anaknya supaya tidak rewel.

Pemprov Deklarasi Jabar Anteng jelang Pemilu 2024 di Gedung Merdeka, Kota Bandung Sabtu 18 November 2023.
Pemprov Deklarasi Jabar Anteng jelang Pemilu 2024 di Gedung Merdeka, Kota Bandung Sabtu 18 November 2023.

Saya jadi teringat zaman Soeharto. Lebih dari sekali sang autokrat menyirami masyarakat serepublik, “Saudara-saudara sebangsa dan setanah air”, dengan wejangan Jawa: “Ojo gumunan, ojo kagétan”. Di bawah bayang-bayang paternalisme saat itu, orang banyak biasanya sudah mafhum sendiri apa maksudnya. Bapak Pembangunan, Sang Pater, bisa jadi akan mengambil langkah-langkah yang bisa bikin gumun dan bisa bikin kagét. Namun, orang banyak, sang anak, tidak boleh rewel, jangan banyak tingkah, kalau mereka tidak mau terkena gebuk.

Autokrasi gaya Soeharto memang sudah silam. Namun, tabiat raja-raja dari masa silam Indonesia tampaknya sedang kembali menggejala di Jakarta. Aturan mungkin saja tidak diterabas, tapi norma terasa banyak dilanggar. Ambisi politik mengabaikan etika publik.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat