kievskiy.org

Riset Berbasis Sastra, Menemukan Pengetahuan Baru Lewat Karya Seni

Ilustrasi skripsi.
Ilustrasi skripsi. /Freepik

PIKIRAN RAKYAT - Permenristekdikti No. 53 tahun 2023 memungkinkan mahasiswa menyelesaikan studi dengan produk karya kreatif. Produk karya kreatif akan berwibawa dan sesuai dengan tuntutan standar riset jika dilandasi oleh metodologi riset tertentu. Persoalannya, bagaimana menyusun karya ilmiah penyelesaian studi yang mengikuti standar metodologi riset berbasis sastra atau seni?

Riset berbasis seni atau arts-based research (ABR) sering digunakan dalam literatur yang berkaitan dengan riset yang melibatkan seni, termasuk sastra. Menurut Leavy, selain ABR, terdapat 30-an terminologi yang beralih-alih dengan ABR, di antaranya Arts-based social research (ABSR), Arts-based qualitative inquiry, Arts in qualitative research, Arts-based educational research (ABER), Arts-based health research (ABHR), Scholartistry, dan Transformative inquiry through art.

Leavy menggunakan istilah narrative inquiry dan Fiction-based research. Oleh karena itu, istilah literary based-research atau riset berbasis sastra saya gunakan untuk mewadahi riset berbasis genre sastra yaitu puisi, cerpen, novel, teks drama atau skenario film, dan teks yang masih ada kaitannya dengan sastra yaitu nonfiksi kreatif.

Bukan riset baru

Di luar Indonesia, ABR bukanlah riset baru. Berdasarkan informasi dari Sinner dkk (2006) dalam artikel pada Canadian Journal of Education, di Fakultas Pendidikan University of British Columbia, selama satu dekade (1994-2004), telah lebih dari 30 judul disertasi yang menggunakan varian desain ABR, yaitu arts-based-educational research (ABER).

Ketiga puluh disertasi tersebut memang tidak hanya berbasis sastra, melainkan juga seni rupa/visual dan seni pertunjukan. Di Indonesia, panduan riset sejenis ABR sebenarnya sudah dilakukan juga, tetapi khusus untuk bidang seni visual dan seni pertunjukan, misalnya buku Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Soedarsono, 1999), Metodologi Penelitian Seni (Rohidi, 2011), Metodologi Penciptaan Seni (Sunarto, 2013), dan Penelitian Penciptaan Karya (Hendriyana,, 2021).

Selain disertasi ABR yang dikemukakan Sinner dkk (2006), ada hal yang menarik lainnya berkaitan dengan ABR yang berfokus pada karya sastra, yaitu riset yang dilakukan Patricia Leavy. Dia dianggap sebagai pendukung penelitian berbasis seni yang paling depan. Selain itu, dia menciptakan istilah "fiksi sosial" dan "penelitian berbasis fiksi" dan telah memelopori upaya di seluruh dunia untuk melegitimasi fiksi sebagai praktik riset.

Penyusunan karya ilmiah untuk penyelesaian studi di pendidikan tinggi dapat dilakukan dengan menggunakan desain ABR, khususnya dengan basis karya sastra. Dengan mengikuti Leavy dan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, penyelesaian studi untuk program sarjana dapat bersifat monodisiplin, program magister bersifat multidisiplin, dan program doktoral dapat bersifat interdisiplin dan transdisiplin.

Perbedaan utama antara karya ilmiah berdesain ABR dengan karya ilmiah lainnya, yang menggunakan paradigma konvensional, seperti kuantitatif, kualitatif, mixed method, atau pengembangan desain instruksional adalah dari segi temuan dan pembahasan (finding and discussion). Dalam ABR bagian itu diberi nama “eksegesis” yang merupakan penjelasan kontekstual dan pertanggungjawaban peneliti yang telah menghasilkan karya sastra. Karya sastra yang merupakan produk penelitian dapat dilampirkan sebagai prototipe dari sebuah karya, yang nantinya dapat diterbitkan atau dipublikasikan. Penelitian berbasis sastra memungkinkan insan perguruan tinggi (mahasiswa, dosen, bahkan profesor) tidak hanya menjadi cendekiawan akademik yang menulis karya ilmiah berformat skripsi, tesis, disertasi, monograf, buku referensi, atau jurnal ilmiah bereputasi internasional, tetapi juga menjadi cendekiawan publik yang mengemas gagasan ilmiahnya melalui karya sastra.

Dalam buku The Oxford Handbook of Methods for Public Scholarship, Leavy (2019) menjelaskan bahwa cendekiawan publik menghasilkan keilmuan publik (public scholarship), yaitu keilmuan yang tersedia di luar akademi atau perguruan tinggi dan masyarakat umum memiliki akses dalam dua hal: keilmuan tersebut beredar di ruang-ruang yang dapat mereka akses dan juga dapat mereka pahami. Oleh sebab itu, ekspresi keilmuan publik dilakukan melalui format media sosial, seperti artikel, esai, atau opini di koran atau di blog, postingan di media sosial, situs web, vlog, siniar, atau tampil di televisi untuk acara aktual, dan bisa juga karya kreatif, seperti instalasi seni, fotografi, pertunjukan drama, musik, tari, film, dan karya sastra.

Istilah cendekiawan publik dalam wacana ilmiah global relevan dengan public scholar (Patricia Leavy), public intellectual (Henry A. Giroux), clercs (Julien Benda), atau organic intellectual (Antonio Gramsci). Istilah ini juga diupayakan agar insan perguruan tinggi tidak sembunyi di balik baju besi akademisi. Sepuluh tahun yang lalu, Kolumnis The New York Times Nicholas Kristof (2014) berteriak dalam artikelnya berjudul “Professors, We Need You!”

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat