kievskiy.org

Gempa Bumi di Indonesia Terjadi 10.789 Kali Sepanjang 2023, Mitigasi Bencana Harus Ditingkatkan

Ilustrasi gempa.
Ilustrasi gempa. /Pikiran Rakyat/Fian Afandi

PIKIRAN RAKYAT - Letak Indonesia yang berada di wilayah cincin api Pasifik atau ring of fire yaitu pertemuan tiga lempeng tektonik dunia seperti lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik, menyebabkan negara ini rawan bencana alam, di antaranya gempa bumi.

Kerawanan tersebut dapat dilihat dari data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang mencatat sepanjang 2023, telah terjadi 10.789 gempa bumi di berbagai wilayah Indonesia. Jumlah aktivitas gempa bumi pada 2023 ini pun dinilai masih tinggi di atas rata-rata tahunannya yaitu sekira 7.000 kali gempa.

Di Jawa Barat selama 2023, BMKG Stasiun Geofisika Bandung mencatat 1.155 kali gempa bumi. Dua kejadian gempa bumi terbaru, di antaranya terjadi di penghujung tahun 2023, yaitu di Kabupaten Pangandaran dengan magnitudo 5,0 dan gempa di Kabupaten Sumedang dengan magnitudo 4,8. Di Sumedang, gempa yang terjadi enam kali sejak pada Minggu, 31 Desember 2023 hingga Senin, 1 Januari 2024 malam dengan kekuatan berbeda itu pun menyebabkan ratusan rumah rusak. Bahkan, guncangannya turut menyebabkan 1 rumah di wilayah Kabupaten Bandung ambruk dan 1 posyandu rusak. Gempa susulan pun masih terjadi di Sumedang hingga Selasa, 2 Januari 2023.

Upaya mitigasi bencana harus dimaksimalkan

Melihat data-data di atas, artinya gempa bumi bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Potensi bencana tersebut harus menjadikan pemerintah lebih serius dan tanggap dalam melakukan manajemen bencana secara maksimal, mulai dari saat terjadi bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, rekonstruksi, mitigasi (pengurangan dampak), serta kesiapsiagaan. Pemerintah juga harus membuat kebijakan sebagai landasan untuk melakukan penanganan bencana di setiap daerah yang memiliki potensi bencana yang berbeda-beda.

Pemerintah bersama seluruh stakeholder pun harus memaksimalkan upaya mitigasi bencana, dalam upaya mengurangi dampak kerusakan akibat bencana. Mitigasi bencana merupakan upaya preventif yang harus diterapkan di lokasi rawan bencana, mulai dari mengevaluasi tata ruang daerah, menghindari permukiman dan segala bangunan infrastruktur pada daerah zona bahaya. Upaya-upaya preventif tersebut harus disosialisasikan kepada masyarakat sehingga masyarakat mengerti mengenai potensi bahaya di sekitarnya.

Kita bisa belajar dari Jepang yang sudah cukup maju dalam mendeteksi dan menangani bencana alam seperti gempa bumi. Contohnya saat gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,5 yang melanda Prefektur Ishikawa di pulau utama Honshu, Jepang, pada Senin 1 Januari 2024. Warga di daerah terdampak pun mendapat peringatan dini di handphone, televisi, dan radio, sesaat sebelum gempa datang, sehingga mereka sudah tahu harus melakukan apa dan pergi ke mana untuk menyelamatkan diri. Apalagi sejak awal diinformasikan bahwa gempa tersebut berpotensi menyebabkan tsunami.

Kesadaran itu tentunya tidak terbentuk secara instan. Namun, dibentuk sejak dini dan berkesinambungan. Salah satunya, siswa di sekolah dasar sudah diajarkan secara rutin bagaimana cara menghadapi gempa dengan aman. Jika gempa terjadi saat mereka berada di ruang kelas, anak-anak belajar untuk bersembunyi di bawah meja dan berpegangan pada kaki meja hingga gempa selesai. Setelah itu guru membawa mereka keluar gedung dan memastikan semua orang ada di sana dan aman.

Sementara itu, di Indonesia pada umumnya, pelatihan-pelatihan menghadapi bencana semacam itu masih sangat terbatas. Kalau pun ada, sifatnya hanya insidental, atau pada saat setelah terjadi bencana berulang, baru diadakan pelatihan-pelatihan tanggap bencana. Itu pun tidak masif dilakukan di masyarakat. Artinya, masyarakat kita belum disiapkan untuk menghadapi bencana.

Bila dibandingkan dengan kesiapsiagaan Jepang, tentunya kita masih jauh tertinggal. Oleh karena itu, upaya memitigasi bencana menjadi sebuah keniscayaan yang harus dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia dan seluruh stakeholder masyarakat. Hal itu bukan untuk menimbulkan kecemasan dan kepanikan masyarakat, tetapi untuk menyiapkan mental dan pengetahuan bila suatu saat menghadapi bencana. Dengan harapan, ketika terjadi bencana, masyarakat tidak panik dan sudah paham harus melakukan upaya penyelamatan diri.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat