kievskiy.org

Membaca Politik Sepak Bola Lewat Kekalahan Timnas Indonesia U-23

Skuad Timnas Indonesia U-23 di Piala Asia U-23.
Skuad Timnas Indonesia U-23 di Piala Asia U-23. /Dok. AFC

PIKIRAN RAKYAT - Indonesia melaju ke semifinal Piala Asia U-23 melawan Uzbekistan, di Stadion Abdullah bin Khalifa pada Senin, 29 April 2024. Timnas Indonesia yang diperkuat oleh kapten Rizky Ridho setelah memenangkan laga menegangkan melawan Korea Selatan lewat adu pinalti, dengan skor 11-10. Indonesia mencetak sejarah dengan berada di posisi semifinal ini, karena sebelumnya belum ada timnas yang mampu mencapai posisi ini. Tercatat prestasi Indonesia sebagai “Macan Asia” terjadi saat awal-awal masa kemerdekaan.

Dari belahan Eropa, Piala Asia U-23 tidak begitu terdengar gaungnya, akan tetapi sebagai anak negeri, saya turut berbangga hati, melihat perkembangan anak muda Indonesia di bawah bimbingan Shin Tae Yong ini. Begitu hangat hati ini saat bersorak sorai melihat bola melesak masuk ke gawang Korea Selatan lewat sepakan kaki Pratama Arhan. Dari belahan dunia lain, menonton kemenangan Indonesia, memang terasa berbeda. Gol Pratama Arhan seakan menjadi obat penawar bagi yang rindu tanah air.

Politik Sepak Bola

Setelah sorak sorai reda dengan hati tetap senang, saya teringat sebelum pilpres sempat terjadi kericuhan penolakan kedatangan Timnas Israel di event Piala Dunia U-20, yang mengakibatkan Indonesia dicoret sebagai tuan rumah. Yang disoroti saat itu adalah Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah, sekaligus sebagai calon presiden dari partai PDI Perjuangan, Walhasil simpatisan sepak bola Indonesia merasa tidak terwakili oleh pernyataan tersebut, mungkin ini salah satu faktor yang mengakibatkan kekalahan telak pasangan Ganjar-Mahfud dalam Pilpres 2024 lalu. Mungkin saja ini membuat para suporter bola Indonesia tidak simpatik terhadap mereka, berujung tidak dicoblosnya di balik bilik suara.

Soekarno adalah presiden pertama Indonesia yang mampu melihat peluang untuk bermain politik lewat sepak bola. Di awal kemerdekaan, julukan Macan Asia bagi Indonesia patut disematkan, karena prestasi Indonesia yang gemilang berkat dukungan penuh dari pemerintah. Indonesia yang baru saja merdeka dari kolonialisme harus mencatatkan diri dalam peta dunia, pintu prestasi sepak bola sebagai gerbangnya. Mencermati ini patut disebut Presiden Soekarno adalah midfielder sekaligus striker yang kompeten dalam politik dunia saat itu.

Bagaimana pun politik dan sepak bola adalah sisi mata uang yang sama, di Prancis tempat saya tinggal, politik sepak bola begitu kentara contohnya saat kalahnya Prancis di Piala Dunia 2022 lalu. Walau Kylian Mbappe sebagai warga Prancis keturunan Afrika yang jadi primadona malam itu. Risikonya besar jadi pemain sepak bola imigran yang terkenal di Prancis, “jika Mbappe gagal menendang penalti dia menjadi imigran, kalau masuk, maka pantas disebut Prancis”. Pernyataan ini menangkap realitas sepak bola di sini. Masalah besar dari imigran dan masalah warna kulit ikut teraduk dalam sepak bola Prancis.

Spanyol memiliki konflik politis yang berbeda, saat Barca alias Barcelona FC tanding dengan Real Madrid, laga yang disebut El Classico ini sarat dengan politik kedaerahan yang kuat. Barca sebagai perlambang dari oposisi pemerintah Raja Spanyol, dari logonya yang menolak untuk menaruh lambang mahkota Raja Spanyol mengisyaratkan penolakan tersebut. El Classico Spanyol adalah perlambangan seteru antara abdi raja dan para pembangkang.

Irlandia yang penuh dengan konflik agama juga dihantui oleh politik sepak bola yang sama, akar masalahnya berasal dari Glasgow Celtics yang mewakili masyarakat Katolik berhadapan dengan Glasgow Rangers yang mewakili masyarakat Irlandia yang protestan. Pada masa lampau, keduanya sarat dengan kekerasan antar pendukung. Bahkan pernah digadang sebagai pertandingan paling berdarah di muka bumi. Dengan latar belakang agama, laga antara keduanya menggambarkan pertarungan ideologi antara penganut Kristus yang berbeda gereja.

Kembali melompat ke Indonesia, Persib dan Persija adalah El Classico versi liga kita. Laga Persib Maung bandung dan Persija Macan Kemayoran, adalah tontonan wajib bagi pendukung kota Bandung dan kota Jakarta tersebut. Berulang kali dalam sejarah terjadi insiden berdarah antara keduanya. Berulang kali juga berujung pada rekonsiliasi damai antar suporter tim, akan tetapi selalu ada api dalam sekam tiap kali laga El Classico ini berlangsung. Penjagaan selalu dilipat gandakan saat laga berlangsung antar keduanya.

Semacam ada siklus kekerasan antarsesama suporter sepak bola ini berulang tanpa henti. Menariknya, semua bisa dibaca sebagai fenomena politik global yang mengisyaratkan adanya benturan politik antarpara suporter dan masyarakat yang mereka wakili.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat