kievskiy.org

Kisah Hasan Maolani, Pejuang di Kuningan yang Dianggap Sakti dan Bikin Belanda Ketakutan

Ilustrasi. Simak kisah Eyang Maolani, ulama di Kuningan yang dianggap sakti pada masanya.
Ilustrasi. Simak kisah Eyang Maolani, ulama di Kuningan yang dianggap sakti pada masanya. /Pixabay/sabinevanerp

PIKIRAN RAKYAT - Kiai Hasan Maolani dikenal sebagai tokoh agama pada masa penjajahan kolonial Belanda, tepatnya sekira abad ke-19. Dia dilahirkan pada tahun 1199 Hijriah atau 1779 Masehi di Desa Lengkong. Kawasan ini sekarang termasuk Kecamatan Garawangi Kabupaten Kuningan.

Menurut daftar silsilah keluarga, Hasan Maolani memiliki leluhur hingga kepada Sunan Gunung Jati. Nama yang terakhir ini dikenal sebagai penyebar Islam di Jawa Barat sekaligus pendiri Kesultanan Cirebon dan Banten.

Hasan Maolani mula-mula menimba ilmu di pesantren Embah Padang, kemudian dilanjutkan ke Pesantren Kedung Rajagaluh (Majalengka) dan Pesantren Ciwaringin, Cirebon, serta beberapa pesantren lainnya. Setelah dewasa, Hasan Maolani belajar dan kemudian menganut tarekat Satariyah. Setelak kembali dari berguru di beberapa pesantren, Hasan Maolani kembali ke desa asalnya di Lengkong dan membuka pesantren.

Kabah, Makkah, Arab Saudi.
Kabah, Makkah, Arab Saudi.

Kiai yang memiliki sebelas anak ini dianggap sebagai ulama berilmu tinggi dan memiliki kekeramatan. Misalnya, ia bisa pergi tanpa diketahui orang. Lalu, dia juga bisa datang ke suatu tempat yang jauh dalam sekejap.

Dia juga dikabarkan bisa mengetahui beberapa kejadian besar yang akan datang, bisa mengobati berbagai penyakit, sering tiba-tiba diketahui orang sedang salat Jumat di Makkah, dan dalam sekejap sudah kembali ke Kuningan.

Dianggap sakti

Makin lama, makin banyak orang datang kepada Kiai Hasan Maolani untuk berbagai keperluan. Mulai dari berobat hingga meminta tolong untuk menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari. Tentu saja, adanya orang berkumpul setiap hari dalam jumlah banyak mengundang kecurigaan pemerintah kolonial yang baru saja usai menghadapi Perang Diponegoro.

Dalam Laporan Politik Pemerintah Kolonial tahun 1839-1849 dan tulisan E. de Waal, Onze Indische Financien, 1876, terungkap tentang adanya gerakan Kiai Hasan Maolani. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa pada tahun 1842, Kiai Hasan Maolani mengangkat dirinya sebagai “pembaharu agama” di Karesidenan Cirebon dan sekitarnya, yang kemudian diikuti dengan pengiriman utusan-utusan serta pembuatan surat-surat selebaran mengenai ajaran-ajarannya.

Dalam pengamatan pemerintah kolonial, surat-surat itu membawa akibat dan pengaruh besar bagi penduduk dan juga pemerintah kolonial. Itulah sebabnya, pemerintah kolonial, melalui kaki tangannya di Kabupaten Kuningan, segera melancarkan tudingan bahwa Kiai Hasan Maolani dituduh menyebarkan ajaran yang tidak sesuai dengan syariah, menghasut rakyat untuk melakukan perlawanan. Tentu saja, tudingan itu tidak sesuai dengan fakta yang ada.

Pengaruh Kiai Hasan Maolani semakin mendalam di kalangan penduduk, bahkan sampai merembet kepada para pemimpin pribumi. Hal ini dijadikan alasan oleh residen untuk menangkap Kiai Hasan Maolani. Residen Cirebon menulis surat ke Batavia yang menyatakan bahwa rakyat lebih menghargai dan patuh kepada Kiai Hasan Maolani, daripada kepada Bupati Kuningan. Residen juga melaporkan bahwa Kiai Hasan akan melawan ”gubernemen” (pemerintah Hindia Belanda) dan ajarannya yang bertentangan dengan Islam.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat