kievskiy.org

Polemik Penyaluran Pupuk Bersubsidi, Kebijakan Jangan Sampai Bikin Rugi Petani

Ilustrasi pupuk bersudsidi.
Ilustrasi pupuk bersudsidi. /Freepik

PIKIRAN RAKYAT - Sejak penerapan paket Revolusi Hijau, kebijakan pupuk bersubsidi selalu menjadi tulang punggung dalam mencapai tujuan ultima di sektor pertanian. Periode kepemimpinan Jokowi bukanlah pengecualian.

Presiden bahkan telah menugaskan penambahan kuantum pupuk bersubsidi melalui mekanisme automatic adjustment Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024. Dengan total anggaran mencapai Rp40 triliun, jatah pupuk bersubsidi naik dua kali lipat menjadi 9,5 juta ton. Meski begitu, jumlah tersebut belum memenuhi permintaan dalam sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) 2024 sebanyak 10,7 juta ton.

Kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan pupuk bersubsidi adalah isu yang berulang. Secara normatif, skema subsidi hanya berorientasi budgeting dan diberikan dalam bentuk subsidi gas kepada produsen pupuk, alih-alih menghitung kebutuhan riil petani. Saat terjadi lonjakan harga gas dan kurs rupiah melemah, maka anggaran untuk pupuk bersubsidi hanya mampu memperoleh volume yang jauh panggang dari api. Implementasi penyaluran pupuk subsidi juga terantuk polemik yang tak kunjung selesai.

Adanya faktor disparitas harga yang cukup tinggi antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi telah memunculkan ekses moral hazard. Berbagai studi akademik dan jurnalisme investigasi acapkali membongkar temuan praktik rente ekonomi yang berimplikasi pada kelangkaan peredaran pupuk subsidi di wilayah tertentu.

Sementara operasional Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) di tiap daerah tidak selalu didukung alokasi anggaran yang memadai. Dalam centang perenang demikian, nasib petani gurem dan bermodal cekak semakin identik dengan ketidakberdayaan.

Peninjauan ulang terhadap outlook kebijakan pupuk bersubsidi adalah hal yang mendesak, namun tidak serta merta menjadi resep generik untuk menciptakan kemandirian pangan.

Pertama dan utama, pemerintah perlu melakukan refocusing kebijakan yang berpihak pada petani secara closed-loop (hulu ke hilir). Sebab pra-syarat kemandirian pangan bukanlah sekadar pemenuhan hidup dari hasil pertanian domestik, melainkan sejauh mana upaya menghidupkan kedaulatan petani atas pangan itu sendiri.

Pemetaan

Pertama, salah satu opsi yang tersedia dalam menyikapi kebijakan pupuk bersubsidi adalah mendorong wacana phase out (penghentian secara bertahap) dan mengalihkan ke subsidi berbasis output di level hilir.

Sebagai input kimia sintetis, ketergantungan terhadap pemakaian pupuk bersubsidi telah menyebabkan kerusakan tanah yang ditandai gejala pelandaian produktivitas. Penambahan input pun tidak lagi berbanding lurus dengan tingkat produktivitas.

Dengan penajaman visi soal kesehatan lingkungan, tanpa mengurangi watak kebijakan remuneratif pada penerima manfaat, sebaiknya pemberian subsidi dimaksimalkan pada harga output melalui harga pembelian pemerintah (HPP). Artinya selisih harga pasar dengan HPP merupakan nilai subsidi yang dibayarkan pemerintah.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat