kievskiy.org

Polemik Perubahan UU MK, Apakah Ada Upaya Melemahkan?

Ilustrasi undang-undang.
Ilustrasi undang-undang. /Pixabay/mohamed_hassan

PIKIRAN RAKYAT - Rencana melakukan perubahan terhadap undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat reaksi dari berbagai kalangan. Ini perubahan yang keempat, sementara umur MK baru masuk hitungan dua dasawarsa. Mengapa perubahan terhadap MK begitu sering terjadi? Ini salah satu pertanyaan saja. Masih setumpuk pertanyaan lainnya, sehingga beberapa kalangan berpendapat tujuan perubahan tersebut sebenarnya untuk melemahkan MK. Jika benar seperti itu, tentu sangat berbahaya. Tapi intinya, mengapa ada keinginan untuk melemahkan MK?

MK adalah anak kandung reformasi. Dibentuk tahun 2003, kedudukan serta fungsinya terbaca dengan sangat jelas. Tujuan ideal MK adalah agar penyelenggaraan negara berdasarkan hukum yang adil dan demokratis. Semangat kelahirannya memang seperti itu. Bangsa ini baru saja melepaskan diri dari kungkungan pemerintahan Orde Baru yang despotis. Pemerintah menempatkan diri sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan tidak terbatas. Lembaga oposisi diharamkan.

Lepas dari kondisi seperti itu mendorong bangkitnya semangat keinginan menyelenggarakan pengurusan kenegaraan seadil-adilnya. Agar idealisasi ke arah itu dapat terwujud, harus ada lembaga negara yang menjadi tumpuan terhadap kemungkinan terjadinya pemanfaatan hukum atau kehendak untuk sewenang-wenang.

Dan, benar. Pada masa-masa awal pembentukannya MK relatif dapat memenuhi keinginan mulia seperti itu. Masyarakat merasakannya. Tapi, kemudian terjadi musibah. Akil Mochtar dalam kedudukan sebagai Ketua MK ditangkap KPK karena menerima suap gugatan pilkada di Gunung Mas Kalimantan Tengah dan di Kabupaten Lebak, Banten. Bahwa Ketua MK dijebloskan ke dalam bui karena korupsi, jelas-jelas merupakan noda yang tidak mudah dihapus.

Musibah lain menyusul kemudian. Aswanto diberhentikan dari kedudukannya sebagai hakim MK. Yang memberhentikannya adalah DPR, lembaga negara yang semula mengusulkan yang bersangkutan untuk menjadi hakim di MK. Kesalahan yang ditudingkan kepadanya membuat kita bertanya-tanya. Menurut pertimbangan DPR Aswanto telah menganulir undang-undang produk DPR.

Independensi MK

Menerima argumentasi DPR seperti itu sontak masyarakat mendongak. Bukankah salah satu persyaratan penting yang harus dihormati di MK itu adalah independensinya? Bagaimana MK akan dapat melakukan pertimbangan undang-undang berkaitan dengan Konstitusi jika hakimnya tidak independen?

Pertanyaan seperti itu sangat mendasar. Tapi, semua pihak seperti telah bersepakat menulikan pendengarannya. Dua lembaga lain, yakni Presiden dan MA, dengan alasan yang sangat sumir, menyetujui keputusan DPR tersebut. Sesuai ketentuan, hakim MK terdiri dari sembilan orang. Tiga orang berasal dari yang diusulkan Presiden, tiga orang diusulkan oleh DPR, yang tiga orang lagi berasal dari usulan Mahkamah Agung.

Berkaitan dengan kedudukan MK yang hakim-hakimnya harus independen, masyarakat memiliki kesimpulan bahwa apakah itu Presiden, DPR maupun MA kewenangannya hanya sebatas mengusulkan. Setelah usulnya disetujui, tidak ada lagi tali yang menjadi pengikatnya. Hakim MK bekerja semata-mata demi keadilan dan demokrasi.

Setelah terjadi kasus Aswanto, sejak itu pula independensi MK tidak berlaku lagi. Memang, sampai saat ini baik Presiden maupun MA tidak meniru langkah yang dicontohkan DPR, tapi isyarathya sudah sangat jelas. Hakim MK harus patuh pada keinginan lembaga pengusulnya. Kalau tidak, risikonya sudah diperlihatkan. Apakah berdasarkan kasus tersebut masyarakat tidak boleh mengharap terlalu banyak dari MK? Belum hilang dari ingatan kita, bagaimana posisi MK terkesan berkabut, sehingga Anwar Usman yang sedang menjadi ketuanya, mesti dijatuhi sanksi etika.

Karena MK dibentuk berdasarkan pertimbangan yang ideal di bidang hukum dan demokrasi, segala upaya untuk membelokkannya harus terus dicegah. Membaca kondisi aktual saat ini, yang mana kepentingan politik sudah dijadikan sebagai panglima, upaya mengembalikan kedudukan MK sehingga menjadi lembaga yang benar-benar independen, tentu tidak mudah. Peran politik, yang mana kepentingan parpol berdiri di belakangnya, menjadi sangat dilematis. Padahal salah satu kewenangan MK adalah memutus perkara berkaitan dengan pembubaran parpol.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat