kievskiy.org

RUU Penyiaran Harusnya Jadi Alat Demokrasi, Bukan Memberangus Jurnalisme

Ilustrasi televisi.
Ilustrasi televisi. /Pexels/cottonbro studio

PIKIRAN RAKYAT - Dewan Pers marah karena draf UU Penyiaran yang tengah digodok DPR menyantumkan pasal yang pada intinya akan melarang tayangan hasil jurnalisme investigasi yang eksklusif. Sikap yang sama disampaikan juga oleh IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) dan AJI (Asosiasi Jurnalis Independen). Mereka kompak mengatakan RUU Penyiaran akan mengancam kemerdekaan pers yang tengah kita nikmati.

Saya bisa memahami keberatan mereka, karena investigasi justru merupakan hak dasar dari para jurnalis. Seperti para periset, investigasi adalah senjata untuk menemukan data dan fakta yang terkadang disembunyikan sangat rapi oleh para oknum pemangku kepentingan untuk keamanan mereka. Entah apa yang bakal terjadi apabila peliputan mendalam (depth reporting) akan menghilang dari layar kaca dan radio berita kita.

 Ilustrasi televisi atau TV.
Ilustrasi televisi atau TV.

Di luar pasal-pasal kontroversial yang ada di dalam naskah draf RUU Penyiaran, masih adakah hal lain yang harus diperhatikan dalam proses legislasi tersebut?

Undang-undang 32/2022 tentang Penyiaran (lama) mungkin adalah produk legislasi yang sangat reformatif. Lahir di tengah gejolak politik, UU Penyiaran adalah hasil perjuangan para aktivis yang ingin membuat rezim penyiaran baru yang demokratis. Semangat UU Penyiaran adalah mengenyahkan peran rezim pemerintah dari tata kelola penyiaran, serta menyerahkannya kepada masyarakat sebagai pemilik kedaulatan frekuensi.

Semangat lain dari UU Penyiaran adalah mendobrak sistem penyiaran lama yang sarat dengan konglomerasi dan kepentingan politik kelompok tertentu. Oleh karena itu, semboyannya adalah terciptanya diversity of ownership untuk tercapainya diversity of content.

Kepemilikan media (radio dan televisi) harus diperluas, sehingga siaran tidak menjadi Jakarta-sentris. Pengelolaan kepenyiaran pun dicabut dari Departemen Penerangan, dan diserahkan kepada sebuah lembaga negara independen yang ditugaskan untuk mengurus segala sesuatu tentang penyiaran. Lembaga baru tersebut bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Segala sesuatunya seperti berjalan lancar. KPI dibentuk, infrastruktur penyiaran dibenahi. Sepertinya, demokratisasi penyiaran di Indonesia akan bermasa depan cerah. Namun, benarkah itu terjadi?

Ternyata hanya sebuah fatamorgana. KPI yang konon akan dibentuk secara powerfull, kemudian dilucuti dengan serta merta. Haknya untuk mengeluarkan dan memperpanjang izin penyelenggaraan penyiaran, dirampas oleh berbagai aturan yang ada di bawahnya.

IPP (Izin Penyelenggaraan Penyiaran) radio dan televisi akhirnya direbut oleh Kementerian Kominfo. KPI hanya dipatok untuk menjadi pengawas isi siaran, itupun dengan sanksi yang tidak jelas. Kalau hanya untuk mengawasi konten, buat apa ada lembaga negara independen yang mengurus segala sesuatu tentang penyiaran?

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat