kievskiy.org

Ramai Oligarki Berkedok Demokrasi, Sudahkah Pemilu Cerminkan Suara Rakyat atau Seremoni Belaka?

Ilustrasi dikontrol oleh oligarki.
Ilustrasi dikontrol oleh oligarki. /Pixabay/mohamed_hassan

PIKIRAN RAKYAT - Seusai pemilihan umum (pemilu) 14 Februari 2024 ruh demokrasi tengah terdiagnosis kronis value, usai dibabat distorsi elektoral dalam hegemoni perebutan kepingan kekuasaan antarpolitisi dan bandit korporasi, dalam pandangan Jeffrey Winters diglorifikasi sebagai “oligarki”. Fenomena tersebut berkembang dan menggerogoti etika res publica, serta turut memperlemah ranah kebebasan sipil lantaran disebabkan beberapa faktor, antara lain; (1) absennya pertarungan ideologi dalam kompetisi politik, (2) terjadinya krisis moral dan kepemimpinan, (3) pembajakan demokrasi, (4) ambivalensi dan inkonsistensi negara dalam penegakan hukum serta penyelesaian masalah sosial-politik yang berbasis primordial.

Letak kontradiksi di atas, tak dapat dihindari bilamana akan membawa Indonesia bermuara pada tiga dimensi persoalan; yakni (1) ketimpangan sumber daya yang krusial, (2) ketimpangan ekonomi, dan (3) ketimpangan ekologi. Beragam penilaian telah dikemukakan oleh para akademisi dalam mengartikulasi capaian reformasi politik dan kualitas demokrasi tanah air, yang berlangsung selama satu dekade kekuasaan rezim presiden Jokowi.

Sebagian pakar politik berlatar mazhab positivisme, cenderung menitikberatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang berhasil memperlihatkan capaian dengan status stable democracy (demokrasi stabil), lantaran praktik demokrasi yang dijalankan secara relatif telah merefleksikan sistem demokrasi liberal. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah hasil voting yang diamanahkan masyarakat pada pemilu, kemudian berbuah voice pada fase pasca-pemilu dalam bentuk kebijakan pemerintah, merefleksikan aspirasi rakyat? Ataukah yang terjadi adalah vote minus voice, karena pemilu sekadar dimaknai sebagai instrumen oleh elite politik untuk menuai legitimasi dari rakyat?

Vulgarisasi politik

Sejak awal semua pihak sudah mencurigai proses mengawali tahun politik dengan beragam langkah pengkondisian. Di antaranya dimulai revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN, isu presiden tiga periode, dan penundaan pemilu. Banyak yang mengendus proses tersebut sebagai bagian dari praktik kecurangan yang terjadi pada pemilu 2024. Terutama saat keluar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan yang mengantar anak sulung Presiden Jokowi menjadi Cawapres. Di satu sisi, proses penunjukkan penjabat kepala daerah (Gubernur, Bupati/Wali Kota) sarat akan masalah. Setidaknya, terdapat 101 kepala daerah sudah berakhir masa jabatannya pada 2022, dan 170 kepala daerah berakhir pada 2023.

Rocky Gerung dalam Intelektual dan Kondisi Politik, menerangkan bila politik hari-hari ini kita petakan secara geologis, tampak ada tiga ”susunan” kualitas. Pertama, yang paling dangkal, yaitu yang ada di permukaan bumi politik kita, adalah politik ”dagang sapi”, kegiatan tukar tambah kepentingan di antara partai-partai politik, tanpa visi ideologis. Kedua, politik sudah dilembagakan dalam hukum dan institusi. Di sini transaksi politik berlangsung dalam kerangka pelembagaan negara hukum dan diselenggarakan sebagai rutinitas demokrasi. Dan ketiga, yang terdalam, politik adalah perjuangan keadilan yang diselenggarakan dalam distingsi ideologis yang jernih, melalui kesadaran etis yang tinggi (Prisma, Vol. 28 Juni 2009).

Meski pada 22 April lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2024-2029, tapi tak dapat dipungkiri bahwa kemenangan Paslon dengan visi Asta Cita itu penuh anomali, dengan raihan suara sebesar 58,59 persen atau 96.214.691 suara berdasarkan hasil rekapitulasi KPU. Terdapat dua hal yang bisa menjelaskan fenomena tidak linearnya suara calon presiden dengan partainya. Adanya vote buying dan perilaku klientelistik yang lumayan masif mendeviasi afeksi pemilih. Kemudian, berkaitan dengan sistem pemilu proporsional terbuka, pemilih calon legislatif (caleg) mendominasi proporsi pemilih partai sebanyak 75 persen pada 2019. Kontribusi suara partai itu berasal dari pemilih caleg.

Terdapat juga distribusi pembagian bantuan sosial (bansos) oleh presiden Jokowi pada momentum kampanye pemilu 2024, menunjukkan betapa tingginya efektivitas klientelisme di Indonesia. Pasalnya, lebih dari separuh pemilih pada pemilu 2024 rentan terhadap mekanisme-mekanisme klientelistik. Berdasarkan laporan Kompas, bahwa kontroversi bansos pada tahun politik sangat seksi karena melibatkan jumlah dana yang fantastik, yakni Rp496,8 triliun, dan rawan konflik kepentingan atau disalahgunakan (Kompas, 3 Februari 2024).

Alhasil, rakyat kemudian dipaksa mengamini hasil pemilu dengan berbagai “prosedur legal” tapi tidak legitimate. Dikarenakan prosesnya secara terang-terangan telah menabrak berbagai aturan, etika, dan kepatutan berdemokrasi, bahkan menghalalkan segala cara melalui politik bansos yang bersumber dari APBN, mobilisasi aparatur TNI, Polri dan ASN untuk memenangkan pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Gibran.

Apologi

Bahwa benar demokrasi lahir dari keadaan darurat, itu tak terbantahkan. Dalam beberapa kasus, demokrasi merupakan anak kandung revolusi dan reformasi. Dengan alasan keadaan darurat, tatanan lama diruntuhkan, konstitusi ditangguhkan, kekerasan dibenarkan guna membentuk suatu tatanan baru, katakanlah tatanan demokrasi (Agus Sudibyo; 2019). Oleh karena itu, harapannya setelah revolusi atau reformasi, penyelenggaraan kekuasaan secara konsekuen harus dijalankan berdasarkan prinsip demokrasi; distribusi kekuasaan, check and balancing, supremasi hukum, dan kesetaraan-keadilan bagi semua warga negara tanpa terkecuali—rule of law.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat