kievskiy.org

Pengamat Nilai Perampasan Aset Tak Terkait Kasus Korupsi Melanggar HAM

Ilustrasi hukum.
Ilustrasi hukum. /Pixabay/geralt

PIKIRAN RAKYAT - Penyitaan hingga perampasan aset masyarakat yang tidak terkait tindak pidana korupsi berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia. 

Menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad, kebijakan formulatif perampasan aset hasil tindak pidana korupsi saat ini terdapat pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Undang-undang 20 Tahun 2001.

Menurut dia, kebijakan perampasan aset, terutama dalam rangka memenuhi uang pengganti, melalui mekanisme hukum pidana hanya dapat dirampas jika pelaku kejahatan oleh pengadilan telah dijatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah). 

"Sehingga apabila putusan pengadilan belum berkekuatan hukum tetap, maka pidana tambahan berupa perampasan aset maupun uang pengganti tidak dapat dieksekusi," kata Suparji  dalam keterangan, Sabtu 31 Juli 2021.

 Baca Juga: Spoiler Ikatan Cinta 31 Juli 2021: Balas Budi ke Nino, Andin dan Al Jujur Soal Ayah Kandung Reyna

Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung diduga melakukan perampasan aset masyarakat maupun korporasi yang tidak terkait kasus korupsi Jiwasraya-Asabri. 

Bahkan, para korban saat ini tengah melakukan upaya hukum dengan mengajukan keberatan serta melayangkan gugatan atas aksi kejaksaan yang melakukan penyitaan serta pelelang aset yang diduga ilegal.

"Bahkan berdasarkan non-conviction based asset forfeiture, perampasan aset yang tidak dapat dibuktikan secara sah asal-usul dari aset tersebut, perampasannya tidak dapat dibenarkan," ujarnya lagi.

 Baca Juga: Berkat Xpander, Inodnesia Indonesia jadi Negara Penjual Mobil Mitsubishi Terbanyak di Dunia

Jika dikaitkan dengan HAM, Suparji menyebut bahwa perampasan tersebut dapat menimbulkan pertentangan dengan asas praduga tak bersalah. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat