kievskiy.org

UU Pemilu Perlu Penyederhanaan

JAKARTA, (PR).- Wakil Ketua Komisi II DPR, M.Lukman Edy menegaskan Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) harus dilakukan penyederhanaan terus-menerus sebagaimana komitmen konsolidasi demokrasi selama ini. Karena itu FPKB mengusulkan penerapan ‘Parlemen threshold nasional’ agar tidak banyak parpol, tapi kemudian oleh Mahkamah Konstitusi (MK) gagasan tersebut dimentahkan. “Putusan MK ini justru menghambat konsolidasi demokrasi, sehingga kita selalu membahas penyederhanaan parpol itu dari awal lagi,” tegas Lukman Edy dalam diskusi ‘RUU Pemilu’ di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (15/9/2016) bersama Ketua KPU Juri Ardiantoro, Sulistiyo (Perludem), dan Mustaqim (Sekber Kodifikasi UU Pemilu). Diskusi tersebut dibuka Ketua FPKB Ida Zauziah. Dengan parliamentary threshold nasional kata Lukman Edy, maka parpol yang gagal tinggal bergabung dengan parpol lain. Toh, kini sudah tidak ada lagi ‘perang’ ideology. Hal itu, penting mengingat sistem pemilu kita sebagai system yang paling rumit dan kompleks di dunia. Kerumitan itu ada sejak Pilkades sampai Pilpres. Menurut Lukman, RUU Pemilu tersebut mulai 1 Oktober 2016 akan dibahas oleh fraksi-fraksi dengan jumlah DIM sebanyak 600-an DIM. PKPU pun, membutuhkan RUU ini secepatnya pada awal Februari 2017 harus selesai, sehingga pada April 2017 ada waktu untuk penyempurnaan dan Mei 2017, KPU sudah mulai melakukan tahapan pemilu 2019. Menghadapi Pemilu serentak, hasil pemilu yang mana yang akan dipakai? Hasil pemilu 2014 atau pemilu 2019? Untuk itu, Lukman Edy meminta kita mengkritisi putusan MK agar tak sewenang-wenang. Sebab, dalam pemilu serentak 2019 ini tidak dipikirkan oleh MK. Soal sistem terbuka apa tertutup, FPKB tetap minta terbuka, tapi kalau pemerintah mengusulkan terbuka terbatas, maka pemerintah harus menjelaskan seperti apa yang dimaksud? “Kalau yang dimaksud untuk mengantisipasi terjadinya jual-beli suara, maka itu bagus. sebab, FPKB anti politik uang. Jadi, pemerintah harus menjelaskan apa system terbuka terbatas,” katanya. Sementara itu mengenai E-Voting, siap tak siap kata Lukman, semua harus mendorong implementasi e-voting tersebut. Selain ada jaminan akurasi, juga murah. “E-voting itu untuk meminimalisir upaya manipulasi suara,” pungkasnya. Juri Ardiantoro menyatakan, UU Pileg dulu disahkan pada Februari 2012, 4 bulan sebelum tahapan pemilu dimulai. Karena itu, RUU pemilu sekarang ini setidaknya Desember 2016 harus selesai, agar persiapan pemilu bisa lebih baik. Menurut Juri, sistem pemilu akan menjadi perdebatan panjang parpol, karena menyangkut kepentingan para pihak. Yang jelas system pemilu itu harus lebih baik dari sebelumnya. “Tidak ada penambahan daerah pemilihan dari sebelumnya 77 dapil, kecuali ada daerah pemekaran,” ungkapnya. Selain itu kata Juri, yang dimaksud serentak itu, pemilu berlangsung satu atau bagaimana? Sebab, di lapangan secara teknis pasti akan banyak masalah yang dihadapi. Yang terpenting lagi, parliamentary threshold (PT) yang mana yang akan digunakan untuk menentukan syarat pasangan capres dan cawapres tersebut. “Kalau hasil pemilu 2014, landasan UU-nya apa, dan lanadasan logikanya apa?” tanya Juri lagi. Terkahir mengenai E-Voting, bahwa pengawasan itu membutuhkan waktu panjang, melibatkan para pihak (peserta dan penyelenggara pemilu). “Jadi, belum diperlukan e-voting, karena belum siap, sehingga yang dibutuhkan tetap e-rekap untuk menjaga keamanan suara pemilu,” pungkasnya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat