kievskiy.org

Kisah para Penyintas Pandemi, Bertahan Melawan Wabah dan Pengalaman Antara Hidup dan Mati

Ilustrasi karantina. Simak beberapa kisah para penyintas pandemi yang bertahan melawan wabah serta pengalaman yang dihadapi antara hidup dan mati.
Ilustrasi karantina. Simak beberapa kisah para penyintas pandemi yang bertahan melawan wabah serta pengalaman yang dihadapi antara hidup dan mati. /Pexels/null xtract Pexels/null xtract

PIKIRAN RAKYAT - Pandemi sudah berulang kali terjadi di negeri ini. Sebelum Covid-19 dengan berbagai variannya saat ini, ada pula wabah pes, flu Spanyol yang berjangkit di masyarakat. Di tengah situasi muram itu, sejumlah penyintas melukiskan momen bertarung dengan penyakit dan melalui momen hidup matinya menghadapi wabah.

Dyah Lestari Ekawati, perempuan 47 tahun itu tak menyangka demam selama tiga hari yang dialaminya ‎bukan meriang biasa. Tubuh bidan asal Lebak Kantin, Kota Bogor, tersebut menggigil hebat dan tak mempan oleh obat penurun panas saat gejala tersebut dirasakannya pertama kali,
Sabtu 12 Februari 2022.‎

"‎Minum (obat) parasetamol turun sebentar, panas lagi, suara serak tahu-tahu hidung meler," ucap Dyah saat dihubungi, Kamis 24 Februari 2022. Pada hari kelima selepas terserag demam, Dyah melakukan tes antigen di Rumah Sakit Salak, Kota Bogor.

Hasilnya, ia positif tertular Covid-19 sehingga harus menjalani isolasi mandiri. Entah dari siapa Dyah tertular. Namun, lingkungan di sekitarnya memang tengah banyak orang-orang yang dilanda flu. Gejala-gejala yang dialami Dyah juga menunjukkan ia terserang varian omicron. Penularan tak hanya berhenti di dirinya. Putrinya, Aulia Puteri Eka Pasya, 17 tahun ikut terkena.

Baca Juga: Boris Johnson: Invasi Penuh Rusia ke Ukraina adalah 'Kiamat' bagi Benua Eropa

Setelah melakukan isolasi mandiri beberapa hari, Dyah dan putrinya akhirnya negatif Covid-19 atau sembuh. Kendati begitu, gejala-gejala seperti batuk hingga suara bindeng masih dirasakannya. Menurutnya, bagian paling ripuh saat terserang omicron adalah demam dan sakit persendian. "Sampai nangis," ucapnya.

Hidup dan Mati

Dyah terbilang beruntung hidup di zaman pengobatan medis semakin canggih dalam menghadapi wabah. Dalam hitungan hari, ia bisa pulih meskipun beberapa gejala belum sepenuhnya hilang.

Pada 1930-an, terserang wabah sama artinya berada pada kondisi hidup dan mati. Simak saja catatan tokoh pers yang pernah memimpin koran berbahasa Sunda, Sipatahoenan, Bakrie Soeraatmadja. Pengalamannya saat terserang pes, dituangkan Bakrie dalam tulisan di Sipatahoenan terbitan 5 Juni 1936. Tulisan itu berjudul, Di antara hiroep djeung paeh (NOE KARANDAPAN KOE B.S. OROET WADAL PEST), atau dalam bahasa Indonesia, Di antara hidup dan mati (yang dialami oleh Bakrie Soeraatmadja yang pernah terserang pes).

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat