kievskiy.org

Agar Ajeg, Pembahasan Revisi UU Pemilu Siap Dengar Banyak Pendapat

Ilustrasi Pilkada Serentak 2020.
Ilustrasi Pilkada Serentak 2020. /Pikiran-Rakyat.com/Fian Afandi Pikiran-Rakyat.com/Fian Afandi

PIKIRAN RAKYAT - Pelibatan publik pada Revisi Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum akan dimaksimalkan untuk menjaring banyak pendapat. Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyebut hal ini penting agar Indonesia memiliki regulasi pemilu yang ajeg dan tak berubah terus menurus.

Dalam sebuah diskusi yang digelar virtual, Selasa 9 Juni 2020, Doli menyebut regulasi yang bertahan lama dinilai mampu membuat demokrasi stabil. Paling tidak UU yang diproduksi nanti bisa berlaku 15 hingga 20 tahun ke depan.

Selama ini, kata dia, UU Pemilu selalu dibahas pada akhir masa jabatan anggota DPR sehingga waktu pembahasan yang terlalu singkat membuat kurang sosialisasi.

Baca Juga: Ridwan Kamil Kukuhkan Komite Ekonomi Kreatif dan Inovasi Jabar

“Makanya saat ini seluruh anggota Komisi II DPR sepakat membahas UU Pemilu di awal periode. Sehingga tidak trial and error terus,” kata Doli.

Politisi partai Golkar ini juga memastikan pembahasan UU Pemilu bakal melibatkan berbagai pemangku kepentingan. DPR membutuhkan masukan dan pandangan agar beleid itu matang. Harapanya semua bisa selesai pada pertengahan 2021.

"Kami bertekad bahwa UU Pemilu dan sudah disetujui menjadi prioritas di tahun pertama DPR. Harapan kami paling lambat pertengahan 2021 selesai," kata Doli.

Baca Juga: Alami Masalah Kejiwaan, Pria India ini Nekat Masukan Kabel Headphone ke Dalam Kandung Kemih

Menurut Dia, Komisi II akan memiliki cukup banyak waktu untuk mensosialiasikan UU Pemilu yang baru apabila diselesaikan pada 2021.

Adapun saat ini pembahasan RUU Pemilu masih sangat awal. Doli mengatakan, draf RUU Pemilu masih disusun untuk kemudian diajukan kepada pimpinan untuk ditetapkan sebagai RUU usul DPR melalui rapat paripurna. Hingga saat ini, setidaknya ada sejumlah isu klasik yang selalu muncul dalam pembahasan RUU Pemilu.

Hal itu di antaranya soal ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT). Sejumlah fraksi mengusulkan agar ambang batas parlemen tetap empat persen, tetapi ada juga yang mengusulkan agar naik jadi lima sampai tujuh persen.

Baca Juga: Beda dari Pengakuan Tiongkok, Studi Harvard Klaim Corona Mungkin Muncul di Wuhan Sejak Agustus 2019

"Ada yang mengusulkan tetap 4, mengusulkan 5, mengusulkan 7, ada juga yang mengusulkan berlaku nasional atau berjenjang berbeda antara pusat dengan provinsi dan kabupaten/kota," kata Doli.

Sistem Pemilu dan besaran kursi per partai per daerah pemilihan (dapil) untuk DPR dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota juga masih menjadi hal yang dibahas. Sama halnya dengan soal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

"Ini beragam tapi hampir semua tetap menginginkan yang sekarang bahwa capres-cawapres diusung 20 persen suara 20 persen kursi di DPR. Ada juga yang mengusulkan agar tidak ada presidential threshold, ada juga yang presidential disamakan dengan parliamentary threshold," ujar Doli.

Baca Juga: Bukti Ketatnya PSBB di Bali, LAPAN Unggah Citra Satelit di Pelabuhan Benoa-Nusa Penida

Sementara itu, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Moch. Nurhasim meminta pembuat undang-undang tak memberikan ruang atau tafsir bagi penyelenggara pemilu dalam RUU Pemilu. Menurut dia, isu-isu krusial yang dulu diperdebatkan harus masuk dalam substansi perbaikan undang-undang ini.

Hasim mengatakan, UU Pemilu sebelumnya memberikan tafsir kepada penyelenggara pemilu. Misalnya, di UU tersebut tidak mengatur larangan caleg eks narapidana korupsi. Namun, KPU membuat PKPU yang melarang eks napi korupsi ikut pemilu. Sehingga, hal itu pun menjadi perdebatan di berbagai kalangan.

“Itu akibat adanya kekosongan hukum yang tidak dipahami, yang kemudian penyelenggara pemilu, khususnya KPU menafsirkan lebih,” ujar Hasim.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat