kievskiy.org

Sejarah Peci: Dulu Simbol Perlawanan, Kini Simbol Pencitraan?

Patung Sukarno memakai peci di Monumen Lapas Banceuy Bandung yang menjadi tempat Sukarno pernah ditahan oleh pemerintah kolonial.
Patung Sukarno memakai peci di Monumen Lapas Banceuy Bandung yang menjadi tempat Sukarno pernah ditahan oleh pemerintah kolonial. /Pikiran Rakyat/Armin Abdul Jabbar

PIKIRAN RAKYAT -  Rasa bangga masih meliputi Sukarno saat‎ berangkat ke Bandung untuk kuliah di Sekolah Teknik Tinggi pada Juni 1921. Musababnya, ia berhasil memperkenalkan pemakaian peci atau kopiah beludru hitam sebagai lambang nasionalisme di kalangan pemuda Surabaya dalam rapat Jong Java. Dalam rapat sebelumnya, berlangsung diskusi sengit perihal pakaian dan atributnya. Ada kelompok yang membenci pemakaian belangkon atau penutup kepala yang biasa dipakai orang-orang Jawa beserta sarung.

Pemakaian peci yang biasa dipakai rakyat biasa juga dianggap sebagai penutup kepala masyarakat rendah. Sukarno muda memiliki pendapat dan sikap yang berbeda. "Mereka seharusnya belajar, bahwa seseorang tidak akan dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke dalam lingkungan mereka. Karena tidak seorang pun di kalangan kaum intelektual melakukan hal yang demikian, aku memutuskan sendiri untuk menjadikan diriku bagian dari rakyat jelata," kata Sukarno dalam buku, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams. Dan Bung Besar benar-benar mempraktikan niatnya menggunakan peci sebagai perwujudan dari sikapnya tersebut dalam sebuat rapat.

Awalnya, Sukarno sedikit tegang dengan perut yang terasa mulas tatkala merealisasikan rencananya itu. Ia ragu-ragu dan mulai berdebat dengan dirinya sendiri hingga ia maju memakai peci. "Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat," kata Bung Karno di depan rapat. Tak cukup itu, ia menjelaskan pula pentingnya identitas/kepribadian Indonesia.

Baca Juga: Perkebunan Teh dan Karet Maswati, Cerita Menir Belanda di Lintasan Kereta Cepat Jakarta-Bandung

"Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita," ujarnya. Ia juga mengurai riwayat penamaan/istilah peci yang berasal dari Belanda. "Dalam bahasa Belanda 'pet' berarti kupiah (kopiah), 'je' akhiran untuk menunjukkan 'kecil', dan kata itu sebenarnya 'petje'. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka."

Saat tiba di Stasiun Bandung, ia keluar mengenakan peci yang disebutnya memberikan kesan gagah serta lambang nasional para pejuang kemerdekaan.
Peci Indonesia

Perilaku Bung Besar punya gaung hingga ada istilah Peci Indonesia. Tulisan koran berbahasa Melayu, Bintang Timoer pada Jumat 8 Mei 1931 misalnya, mengangkat tentang pakaian nasional yang mengulas pula Peci Indonesia. "Salah satoe dari pada pakaian bangsa Indonesia sekarang jang soedah begitoe popoeler adalah petji Indonesia," tulis Bintang Timoer. Dulu, 10 hingga 12 tahun ke belakang, peci menunjukkan ke-Inlander-an. "Tetapi sekarang dengan popoelarnja petji tahadi, dimana advocaten, leden van den Volksraad, Ind artsen, ingenieurs, juristen dll. serta studenten kita soedah memakai itoe kemana2 poen djoega maka petji itoe naik sendirinja ke atas, hingga dengan kenaikkanja itoe maka kromo2 jang agak netjes berpakaian poen soedah toeroet naik, artinja orang tidak sembarang berkata kasar lagi kepadanja, sebab boekan tidak boleh djadi ia ada seorang jang....terpelandjar!"

Gaung peci sebagai identitas nasional negeri ini saat belum merdeka juga muncul dalam koran-koran lawas lainnya. Koran Pertjatoeran yang diterbitkan di Sibolga umpamanya, mengulas pula persoalan peci dalam tulisannya pada Sabtu 15 Oktober 1927. "Di Djawa sekarang soedah banjak Indonesiers memakai petji baik di pesta-pesta maoepoen waktoe berdjalan2," tulis penulis dengan nama Journalist Tjerewet dalam koran tersebut. Dan peci pun sudah dianggap sebagai lambang warga Indonesia yang belum merdeka tersebut. "Tentoe sekarang kalau kelihatan orang disana pakai petji atau kopiah, soedah bisa dipastikan ia ada poetera Indonesia."

Sin Tit Po juga tak ketinggalan mengulas peci dalam tulisan bertajuk, Pakean Nasional, Sabtu 14 November 1931. Sang penulis bernama J.D. Syaranamual. "Petji Indonesia itoe seharoesnja dipropagandaken dengen keras di mana-mana. Kita berjakin, bahoea petji itoe aken disoekai oleh semoea golongan di Indonesia ini. Ini soedah ternjata sekarang: bebrapa golongan jang tadinja roepa-roepanja tidak begitoe soeka memakenja, sekarang soedah sama menggoenakan petji Indonesia itoe," tulisnya. Bahkan, lanjutnya, bukan perkara yang aneh apabila ditemukan pemuda-pemuda Kristen dari Ambon, Minahasa dan Timur memakai peci.

Baca Juga: Sukarno Diusulkan Jadi Nama Jalan di Tunisia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat