kievskiy.org

Peserta Pemilu 2024 Boleh Kampanye di Kampus, Politikus Jangan Orasi Seperti di Pasar

Telkom University.
Telkom University. /Pikiran Rakyat/Barkah Hijratul Asyuro

PIKIRAN RAKYAT - Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan peserta Pemilu 2024 berkampanye di tempat pendidikan dengan batasan tertentu. Draf Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 Tentang Kampanye Pemilihan Umum menyebutkan, tempat pendidikan yang dimaksud adalah perguruan tinggi yang meliputi universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, akademi dan atau akademi komunitas.

Dalam draf itu dijelaskan bahwa kampanye di tempat pendidikan tidak boleh sembarangan. Kampanye hanya bisa diselenggarakan di gedung serbaguna, halaman, lapangan, dan tidak boleh diselenggarakan di tempat untuk kegiatan belajar dan mengajar yang ditentukan oleh penanggung jawab tempat pendidikan.

“Kampanye pemilu di fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan dilaksanakan pada hari Sabtu dan hari Minggu,” bunyi Pasal 72 Ayat (5).

“Metode kampanye pemilu di fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan meliputi: a. pertemuan tatap muka; b. pertemuan terbatas,” bunyi Pasal 72 Ayat (6).

Baca Juga: Rekam Jejak Ganjar Pranowo, Menilik Perjalanannya dari Mahasiswa Sampai Gubernur Jawa Tengah

Dampak positif dan negatif

Direktur Data Politik Indonesia, Catur Nugroho, mengatakan bahwa wacana diizinkannya kampanye di kampus memiliki dampak positif dan negatif. “Positifnya, berarti ruang pendidikan terbuka untuk politik praktis. Dengan diperbolehkannya kampanye-kampanye ini menjadikan diskusi-diskusi terkait pemilu, politik, dan partai politik menjadi hidup. Bagus untuk proses komunikasi politik," tuturnya di Bandung, Selasa, 12 September 2023.

"Negatifnya, ketika ada satu kerja sama antarparpol atau calon tertentu, kemudian memobilisasi massa, itu yang seharusnya tidak terjadi,” sebut Catur lagi.

Catur yang merupakan dosen Komunikasi Politik di Telkom University tersebut juga menyarankan bahwa bentuk kampanye yang dilangsungkan bukan berupa orasi yang bersifat satu arah, namun harus bersifat dua arah. Para calon harus siap menerima pertanyaan dan kritik.

“Menurut saya, tidak seharusnya terjadi kampanye politik yang konvensional seperti orasi di lapangan karena bersifat satu arah. Namun, proses komunikasi politik dalam bentuk kampanyenya yang menurut saya ideal di lembaga pendidikan adalah diskusi karena bersifat dua arah,” sebutnya.

“Jadi, mereka harus siap dikritik, ditanyain, diserang pula. Seperti itu, kan, dunia pendidikan. Jangan disamakan dengan ketika mereka kampanye di pasar atau di lapangan, gak bisa,” ucapnya mengimbuhkan.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat